Oleh Menik Oktafia C.N
Banyak orang belum tahu nikmat Allah dan cara mensyukurinya. Manusia adalah makhluk Allah yang memiliki sifat tidak pernah puas. Mereka cenderung senang mengumbar hasrat konsumtifnya sehingga tidak pernah mampu membendung keserakahan. Permusuhan antar saudara, pembunuhan yang dilakukan seorang anak terhadap orang tuanya, tertindasnya masyarakat kalangan bawah, juga semakin menjamurnya wanita panggilan akibat dari tuntutan hidup glamor, itu semua adalah akibat dari sifat tidak pernah puas yang sudah membutakan mata hati mereka. Islam telah memperingatkan kita akan bahaya dari salah satu sifat shaitan ini dengan memberi kedudukan yang tinggi terhadap rasa syukur. Ini merupakan obat manjur bagi manusia untuk mencegah dan mengobati “penyakit” tidak pernah puas.
Bentuk dari tingginya kedudukan syukur yaitu vitalnya posisi syukur dalam jiwa manusia sehingga Islam mengatakan bahwa syukur merupakan salah satu pondasi agama. Dengan kata lain, apabila seorang muslim tidak bisa bersyukur maka imannya masih rapuh dan akan mudah dirobohkan oleh godaan-godaan shaitan.
Wujud syukur adalah rasa menghargai terhadap kebajikan, yang mendorong hati untuk mencintai dan lisan untuk memuji. Dengan kata lain, syukur adalah memuji si Pemberi nikmat atas kebaikan yang telah diberikanNya. Allah berfirman:
فاذكروني اذكركم واشكروالي ولا تكفرون
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
واذ تاذ ن ربكم لئِن شكر تم لازدنكم ولئِن كفرتم ان عذابي لشديد
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya  Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 7).
Syukurnya terbagi menjadi tigas hal. Apabila ketiganya tidak terpenuhi, maka tidaklah dinamakan bersyukur, ketiga hal itu meliputimeyakini nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah. Jadi, syukur di sini adalah berkaitan erat dengan hati, lisan dan anggota badan. Hati untuk ma’rifahdan mahabbah, lisan untuk menyebut nama Allah dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan ketaatan pada Allah atau mempergunakannya pada hal-hal yang dicintai oleh Allah, dan adapun bentuk kekufurannya adalah menggunakannya untuk perbuatan yang dimurkai Allah. 
Salah seorang Arif Billah berkata: Al-Haqq tidak menjamin kenaikan tingkat (maqam) kecuali dengan syukur. Hal ini menunjukkan bahwa syukur merupakan tingkat maqamyang terbaik dan laku ketaatan yang terafdhal, sebab syukur mengandung keceriaan bersama Allah dan memiliki akibat cinta Allah. Tidak diragukan lagi bahwa maqam syukur lebih tinggi daripada maqam  sabar, sebab orang bersyukur justru melihat cobaan (mihnah) sebagai anugrah (minnah), sehingga ia pun menerima bencana dengan wajah bahagia.
Seseorang tidak bisa disebut bersyukur dalam kondisi sempit sampai ia melihatnya sebagai suatu yang lapang dan membahagiakan, karena kandungan yang dihadapinya sewaktu dalam kondisi duka berupa keterbukaan hati (al-futuhal al-qalbiyyah) dan anugerah-anugerah laduniyyah (al-mawahi al-laduniyyah), sehingga bencana berubah menjadi nikmat. Sebagaimana ujaran penyusun Al-A’niyyah [bait-bait syair berakhiran huruf ‘ain]: “derita terasa nikmat bagiku, jika Kau uji aku dengan sakit, maka ia bagiku merupakan anugerah.”
Setiap perbuatan yang menuju pada jalan kebaikan selalu tidak mudah untuk dilaksanakan, begitu pula dengan bersyukur. Iblis tidak akan membiarkan anak cucu adam berbuat kebaikan karena pekerjaaan iblis adalah menjerumuskan manusia ke dalam lembah kenistaan, supaya iblis akan memiliki banyak pengikut di dalam neraka kelak. Hal ini sudah dikatakan iblis dalam firman Allah:
ثم لاتينهم منبين ايديهم ومن خلفهم وعن ايمانهم وعن شما ئِلهم ولاتجد اكثرهم شكرين
“Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapat kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 17).
Oleh karena itu, hanya sedikit dari kalangan manusia yang dapat bersyukur, sehingga Allah berfirman:
…. اعملوا الداود شكرا وقليل من عبادي الشكور .
“… Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)
Karena tingkat kesulitan yang begitu besar, Allah akan membalas kepada hamba-hambaNya yang bersyukur dengan balasan yang besar pula, balasan secara penuh dan mutlak. Allah berfirman:
وماكان لنفس انتمو ت الا باذ ن الله كتبا مؤجلا ومن يرد ثواب الدنيا نؤؤته منها ومن يرد ثواب الاخرة نؤته منها وسنجزى الشكرين .
“Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145)
Dari Aisyah RA (ia berkata): sesungguhnya Nabi SAW selalu sholat malam hingga kedua kakinya bengkak lalu aku bertanya “mengapa engkau lakukan itu ya Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu maupun yang kemudian?” ia menjawab (dalam bentuk pertanyaan) “Tidakkah aku menyukai menjadi seorang hamba yang selalu bersyukur.” (HR. Bukhori-Muslim)
Ibnu Abi Jamrah menjelaskan bahwa Rasulullah adalah maksum (dipelihara dari berbuat dosa) sehingga Nabi tidak mempunyai dosa (seperti manusia pada umumnya). Apabila Nabi yang ditakdirkan sebagai seorang maksum saja sebegitu besar rasa syukurnya, bagaimana dengan kita sebagai manusia biasa yang tak pernah luput dari perbuatan dosa?
Apapun yang ingin kita capai atau kita dapatkan pasti selalu ada harga yang harus dibayar. Kita ingin mendapatkan satu kantong beras, maka kita harus membelinya dengan cara membayar harga satu kantong beras itu kepada penjual beras tersebut. Sama halnya dengan kehidupan ini, apabila kita ingin mendapatkan nikmat Allah SWT tanpa terputus, maka bersyukur adalah salah satu caranya. Seperti yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz ra: “ikatlah nikmat karunia Allah dengan bersyukur kepada-Nya.”
Penulis adalah Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Semester VIII
Referensi:
Muhammad Khalid Tsabit, Quantum Ridha (Jakarta: Amanah 2009).
Muhammad Amin, Sikap Hidup Muslim (Surabaya: Al-Ihsan 1991).
Hani Kisyik, Kunci Sukses Hidup Bahagia (Surakarta: Insan Kamil 2008).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini