Yuhdie Haryono (kanan) saat bersama Franz Magnis Suseno

Semarang, Harian Jateng – M Yudhie Haryono, Direktur Eksekutif Nusantara Centre, mengatakan bahwa Indonesia adalah negara predatorik. Hal itu sebagai wujud refleksi HUT Kemerdekaan RI ke 70 tahun 2015.

“Mari kita lanjutkan kuliah postkolonial yang tertunda. Satu tema menarik adalah negara predatorik. Jika pada awal formasi kemerdekaan via proklamasi negara ini didesain sebagai negara progresif-pancasilais, kenapa jadi negara predator?,” ujar dia, kemarin.

Tentu saja karena warisan kolonialisme, kata dia, predator berasal dari bahasa Inggris. “Maknanya adalah perilaku satu individu atau kelompok yang menyerang atau memakan individu lainnya demi kepentingan hidupnya. Kanibalisme ini dapat dilakukan dengan berulang-ulang kepada mangsanya. Dalam konteks politik di Indonesia, yang dimaksud dengan negara predatorik adalah kemampuan individu atau kelompok menggunakan negara (aparatusnya) guna membuat warga lainnya paria dan mati,” tegas penulis buku Merebut Mimpi Bangsa tersebut.

Kita tahu, lanjut dia, bahwa demokrasi di Indonesia ini bukan seperti demokrasi yang diidealisasikan para pendirinya. “Sebaliknya demokrasi yang ada lebih mirip dengan politik di negara-negara liberal. Demokrasi berbasis individu dan modal. Karena itu, individu bermodal (politisi-pengusaha) menjadi potret pembajak demokrasi. Mereka merupakan kekuatan koalisi dari pemain lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama,” urai dia.

Kelompok predatoris itu, ujar dia, menguat karena kalangan reformis 1998 gagal menghilangkan kekuatan-kekuatan predatoris tersebut. “Arsitektur predatoris kini adalah kekuatan yang memiliki kepentingan untuk menguasai sumber daya publik demi kepentingan akumulasi kapital privat (diri dan kelompoknya),” tutur pendiri Kalam Nusantara tersebut.

Mereka adalah kelompok-kelompok warisan dan binaan Orde Baru, lanjut dia, yaitu preman, konglomerat China, Golkar dan TNI/POLRI. Mereka itulah yang membuat KKN menggurita dan tak tersentuh, seperti BLBI, Century, korupsi alutista, kejahatan HAM, kejahatan UU dan korupsi finansial (kurs dan investasi),” jelasnya.

Terus terang, lanjut dia, aku dan kawan-kawan di 1998 gagal mengeluarkan kepentingan-kepentingan pribadi kekuatan lama yang predatoris tersebut. “Kami justru memberikan kepada mereka kesempatan untuk mengambil alih demokrasi Indonesia. Mereka merampok reformasi dan mengisinya dengan oligarki baru, fasisme baru, fundamentalisme baru dalam bentuk kleptokrasi dan kartel berkelakuan predatoris. Apapun partai dan ormas mereka, ketika berkuasa programnya sama, mengkhianati konstitusi dan memiskinkan warga negara lainnya sambil menyembah pasar dan memasrahkan diri jadi budak asing dan aseng.

“Betapa bahagianya mereka jika meminum darah saudara-saudaranya sambil menggemukan perutnya saja,” pungkas dia. (Red-HJ45/Foto: Yudhie/Harian Jateng).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini