Oleh: Ika Cinthia Septiyani

Foto: inhudh.wordpress.com

Asap rokok terus mengepul keatas. Semakin meninggi  sebelum memudar dan menyatu dengan udara yang menyambangiku malam ini. Aku kembali berpikir bahwa seperti inilah hidupku. Semakin memudar dan tergerus oleh keberadaan yang lebih kuat dan mendominasi. Meski begitu aku tak mampu meleburkan diri  dengan apa yang berada di sekelilingku. Aku juga tak lebih dari kopi hitam yang gelap pekat yang selalu kunikmati. Meski hidup terus membusuk, atau pada dasarnya diri ini telah mati.

Malam kian menghitan tatkalah kelelawar menarikan dzikirnya. Seorang lelakutinggi besar menghampiriku. Namanya Rahman. Wajahnya berseri dengan senyum ramah menambah keelokan parasnya.  Ia biasa menghampiri ketika melihatku termenung sendiri.

“Apa lagi yang kau pikirkan, Kawan?” Tanyanya kala itu.

“Tak ada, hany sedang menikmati hidup yang terus membusuk,” jawabku.

“Apa yang kau katakan itu?? Cobalah untuk bersyukur!”

“Inilah caraku bersyukur. Rejeki adalah apa yang kita nikmati. Aku selalu menjadikan apa yang terjadi dan apa yang kualamai menjadi rejeki bagiku.”

“Terserah apa katamu, buatlah dirimu berguna!”

Benar memang apa yang dikatakan Rahman malam itu. Aku hampir tal membrikan arti bagi setiap orang yang ada di sekeliingku. Aku tak mampu memberikan tindakan tatkala mereka membutuhkan bantuan atau sekedar menjadi teman cerita perihal apa yang mereka alami.

***

Tiga bulan lalu aku duduk di gerbang kampus. Sekedar untuk menyaksikan lalu lalangnya manusia. Melihat indahnya buah karya Tuhan. Brekk!!! Tiba-tiba terdengar suara motor jatuh. Kuarahkan mataku pada pengendaranya. Ia  meringis. Kulihat wajahnya. Ternyata ia Muhaimin yang terpeleset akibat belokan jalan yang licin. Aku hanya melongo tanpa beranjak sedikitpun dari tempat dudukku.
Beberapa orang di sekitar tempat itu menghampiri dan membantunya berdiri. Beruntung tak terjadi apa-apa, hanya lecet saja pada bagian lengan dan sikunya. Ada apa dengan diriku?  Pikir diriku yang tak tahu harus apa.

Ada kalanya manusia harus berkoloni dan memberikan kebaikan pada sesama, saling berbagi duka, bahagia, atau bertukar pengalaman, bercanda, dan semacamnya. Namun aku gagal dalam semua itu. Tak ada yang bisa kulakukan.

Suatu hari harus ada perubahan dalam diriku. Ada orang yang menerima keberadaan walau tak berguna sekalipun. Sudah selayaknya manusia memberikan sesuatu yang berarti bagi manusia lainnya. Bukan sekedar untuk timbal balik atau balas budi pada orang lain. Meskipun itu adalah hal bijak, namun bukan itu. Pemberian merupakan bentuk kasih sayang yang diberikan kepada makhluk. Dengan mencintai makhluk, maka itu merupakan bagian dari kecintaan terhadap Tuhan.

***

Aku masih dengan kretek dan kopi hitam. Rahman masih berada bersamaku. Ia paling setia meski aku hanya dapat merepotkannya.

“Kau benar, Man, aku harus memberikan manfaat bagi orang lain, harus ada perubahan,” ugkapku padanya.

“Lali apa yang akan kau lakukan?”

Kuraih gula dan kopi kemudian kutaruh dalam gelas sesuai takaran. Kesuduh dengan air hangat yang tersisa. Kuletakkan dihadapan Rahman bersama rokok yang kutawarkan padanya.

“Kopi dan kretek ini adalah awal dari apa yang akan kuberikan pada orang lain, nikamtilah!” kataku.
Iapun hanya tersenyum sebelum akhirnya kami berdua tertawa.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini