Oleh Husna Nashihin
Gotong royong atau bekerja sama merupakan perwujudan prinsip “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul” yang berlaku dan dikedepankan di Indonesia sejak zaman pra-kemerdekaan sampai sekarang. Bahkan, kemerdekaan Indonesia sendiri merupakan buah keberhasilan dari gotong royong semua anak bangsa.
Namun sangat disayangkan, sikap ini semakin terkikis dengan semakin derasnya arus modernisasi. Bahkan, arus ini berhasil menghantarkan pandangan generasi bangsa saat ini pada sebuah kesimpulan bahwa gotong royong merupakan sikap kuno dan kolot, bahkan menjadi beban yang mengganggu kebebasan waktu dan tenaga.
Lantas, jika cara pandang yang seperti ini yang justru berkembang pesat, dimanakah pendidikan saat ini yang seharusnya berfungsi sebagai tonggak perubahan sosial? Solusinya, apakah pendidikan saat ini juga harus mengutamakan kebudayaan masyarakat sebagai basis pendidikannya?
Yogyakarta sebagai pusat budaya Jawa agaknya memiliki strategi ampuh dalam melestarikan sikap gotong royong. Pendidikan gotong royong ditanamkan melalui budaya “Nyumbang” dan “Nonjok”. Nyumbang berasal dari kata sumbang yang artinya “memberi”, sedangkan Nonjok berarti “memukul” yang dalam konteks budaya ini harus dimaknai secara filosofis sebagai “balasan memberi”. Artinya antara Nyumbang dan Nonjok sebenarnya merupakan serangkaian budaya yang berarti “saling memberi”.
Sebenarnya budaya ini merupakan budaya Jawa yang masih dilakukan juga di sebagian wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian wilayah Jawa lainnya. Namun demikian, agaknya Yogyakarta menjadi daerah yang masih konsisten menjaga budaya ini dengan serius.
Budaya ini biasanya dilakukan setiap ada hajatan pada masyarakat Yogyakarta, seperti pernikahan, selametan, dan kelahiran bayi. Selanjutnya, para kerabat dekat dan masyarakat sekitar melakukan budaya “Nyumbang”. Sebagai balasannya, pihak yang memiliki hajat atau acara melakukan budaya “Nonjok” dengan mengantarkan sedekah balasan berupa makanan yang biasanya disebut “tonjokan”.
Bahkan, pada sebuah kasus terkadang uang yang disumbangkan nilainya tidak lebih banyak dari tonjokan atau makanan yang diantarkan oleh pihak yang punya hajat, begitu pula terkadang sebaliknya. Artinya, besar kecilnya nilai uang dan makanan tidak menjadi tolak ukur masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta dalam melakukan budaya Nyumbang dan Nonjok. Semangat saling membantu atau gotong royong dalam memikul acara hajatan kerabat atau tetangga dekat menjadi nilai yang dikedepankan.
Sadar atau tidak, sebenarnya budaya seperti “Nyumbang” dan “Nonjok” inilah yang saat ini masih menjadi alat ampuh dalam menajaga sikap gotong royong khususnya masyarakat di Yogyakarta dan umumnya masyarakat di Jawa.
Sikap gotong royong yang mampu terjaga melalui budaya ini menjadi nilai mahal yang akan mampu menghantarkan pendidikan di Indonesia sebagai tonggak perubahan sosial yang selama ini dielu-elukan masyarakat terwujud.
Akankah pemikiran ini akan menjadi tujuan yang terwujud atau akankah hanya menjadi sebatas angan belaka? Jawaban kuncinya ada pada keseriusan dalam menjaga sinergitas antara pendidikan dan kebudayaan untuk bisa berjalan beriringan. Menjadikan budaya “Nyumbang” dan “Nonjok” merupakan salah satu upaya kongkrit dalam mensinergikan antara pendidikan dan kebudayaan di Indonesia.