Oleh Aisjah
Penulis merupakan pendidik di SMA Negeri 2 Temanggung
Gawai saat ini telah berkembang sangat pesat, dengan style, fasilitas dan karakteristik yang beragam. Kita bisa menemukan pengguna gawai ada di mana saja, di rumah, di pinggir jalan, di pasar, di sekolah, di kendaraan, bahkan yang berkendara. Luar biasa. Mengapa begitu memikat? Kecanggihan yang tersedia di dalamnya telah mendorong pada berbagai aktivitas pengguna, termasuk pelajar. Adanya fungsi akses internet dalam gawai, memudahkan segala kegiatan dengan biaya yang lebih cepat, mudah, murah, dan akurat. Hal inilah yang menyebabkan para pelajar kita tak mampu berpisah dengan benda tersebut. Kemanapun, di manapun, dan kapanpun gawai tak terlupakan. Para pelajar ini memanfaatkan secara aktif segala yang tersaji di dalam gawai tersebut.
Manfaat Gawai Bagi Pelajar
Pemanfaatan gawai terkonsentrasikan pada 2 aspek penting, sebagai sarana komunikasi dan sarana akses internet. Sebagai sarana komunikasi, gawai dengan segala fasilitas yang disediakan memberi kemudahan pada pelajar dalam menjalin komunikasi baik melalui media whatshapp, line, message, instagram, calling, video call atau lainnya. Para pelajar juga memanfaatkan gawai sebagai media untuk mengkomunikasikan materi pembelajaran, tugas, atau hasil belajarnya, baik terhadap orangtua, guru, atau teman-temannya.
Gawai dimanfaatkan sebagai sarana akses internet. Fungsi internet dalam dunia pendidikan ini diungkapkan oleh Park dalam Nazan Dogruer dkk (Procedia; 2011) “ On a more comprehensive basis, it can be pointed out that the Internet has some functions, especially in education, and these can be listed as (i) storehouse of information, (ii) communication without boundaries, (iii) online interactive learning, (iv) electronic/online research, (v) innovation in the new world, (vi) improve interest in learning, (vii) global education, and (viii) information catalogues”.
Berdasarkan informasi tersebut, maka optimalisasi pemanfaatan internet pelajar dalam kegiatan sekolah diharapkan mampu melahirkan berbagai inovasi dan meningkatkan hasil belajar mereka, serta mampu membangun ekosistem akademis yang sehat, yaitu pengembangan akademik yang beradab, kompetitif, mandiri, dan berdaya juang.
Distorsi Penggunaan Gawai
Derasnya arus globalisasi, dan teknologi informasi telah menggeser pemanfaatan gawai. Sehingga fungsi gawai terdistorsikan pada kegiatan-kegiatan yang kontra produktif. Setidaknya ada 2 aspek distorsi yang dapat diamati. Pertama, perubahan gaya hidup. Pemanfaatan gawai merambah pada media sosial, game online, dan kesenangan lain yang membangkitkan obsesi mereka. Bahkan kegandrungan pada media sosial, atau game on line lebih dominan ketimbang olah informasi. Seperti yang diungkapkan Suhartono, berdasarkan data BPS, dari 143 juta jiwa anak muda, 54 persen itu sudah menggunakan internet. Angka ini merupakan potensi besar dan peluang kerja dunia digital sangat terbuka lebar. Tapi 90,61 persen anak muda masih memanfaatkan internet hanya untuk media sosial dan jejaring social (Merdeka.com, 31/3/2018).
Distorsi ini mempengaruhi cara mereka berperilaku, berkomunikasi, berpakaian, bahkan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak para pelajar, serta mendorong terbentuknya gaya hidup hedonisme atau aktivitas lainnya yang berorientasikan pada kesenangan materi saja. Hedonisme juga dapat menjadi salah satu pemicu lahirnya sifat individualis para pelajar, pergaulan bebas, dan bahkan mendekatkan mereka pada narkotika.
Kedua, efek candu gawai. Para Pengguna gawai kerap tak mampu meninggalkan benda tersebut dari saku baju atau celananya, karena telah memberi pengaruh efek candu. Dr.Fran Walfih, seorang psikoterapis keluarga serta penulis di Baverly Hills California mengungkapkan “Cellphones are addictive in the same way slot machines are,” (Lizette Borelli, medicaldaily.com, 2/7/2013). Efek candu ini mendorong para pengguna memakai handphone di segala tempat, dan situasi, terus menerus membawa, membuka, dan menggunakan handphone.
Demikian pula dengan para pelajar kita, mereka senantiasa tergelitik untuk membuka handphone baik sedang atau tidak membutuhkan informasi. Dalam tulisan Lizette lebih lanjut mengungkapkan bahwa kecanduan handphone dapat memicu suasana hati dan perilaku tertentu (Lizette Borelli; www.medicaldaily.com, 2/7/2013). Efek candu handphone ini dapat melemahkan kepekaan sosial pelajar, memperkuat sifat indivualis, serta mengekang potensi intrapersonal dan interpersonal mereka.
Berbagai fakta tersebut diatas perlu disikapi oleh Kepala Sekolah dan guru sebagai pengelola sekolah untuk menimbang kembali penggunaan gawai di sekolah, dan mereduksi distorsi penggunaan gawai sehingga menjadi efektif untuk penguatan pendidikan di sekolah. Saat ini tidak mungkin melarang penggunaan gawai di sekolah karenanya untuk membentuk perisai yang kokoh, sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan harus mengunggulkan nilai-nilai spiritual, moral, etika, dan bela bangsa untuk dapat membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, berakhlak mulia, serta cerdas secara spiritual, dan emosional.
Sekolah perlu menggagas berbagai program kegiatan yang berorientasikan pada penanaman nilai-nilai akhlakul karimah, dengan melibatkan seluruh elemen sekolah dan dilakukan secara terstruktur,jelas, serta terarah. Nilai-nilai akhlakul karimah ini ditanamkan sejak masa orientasi siswa baru, sehingga membangun pembiasaan-pembiasaan positif bagi peserta didik, dan mampu mereduksi berbagai distorsi pemanfaatan teknologi , termask penggunaan handphone. Hal inilah yang akan menjadi perisai pelajar dari derasnya pengaruh globalisasi dan teknologi informasi, sehingga mereka mampu memilah, dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan potensi mereka.