Oleh Aisjah
Penulis merupakan pendidik SMAN 2 Temanggung
Mengajar dengan hati, mungkin terdengar sangat bombastis, atau mungkin lebay. Tetapi sejatinya memanglah demikian, pendidikan kita harus dikelola dengan hati. Karena komponen yang mengolah dan diolah mempunyai hati, punya kemauan, punya gagasan, bahkan punya segudang inspirasi.
Saat ini peserta didik kita terbebani dengan kurikulum yang cukup berat. Pengelolaan kurikulum diorientasikan pada aspek akademik. Alat ukur belajarpun lebih utama pada tes atau ujian, atau pencapaian ketuntasan belajar. Sehingga tidak sedikit peserta didik yang dalam proses belajarnya hanya berorientasi pada nilai dalam bentuk angka. Bukan nilai yang sesungguhnya.
Maraknya berita kenakalan remaja yang terjadi di tanah air ini, menambah rangkaian daftar tolok ukur kegagalan pendidikan kita. Pendidikan dianggap belum mampu membentuk karakter yang ideal para pelajar ini. Ada yang salah dalam pendidikan kita ? Pasti, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memang harus didandani. Lahirnya kurikulum 2013 sebagai penyempurnaan kurikulum 2006, belum manunjukkan perubahan yang signifikan terhadap hasil pendidikan kita. Karenanya perubahan yang diperlukan bukan hanya pada kurikulum semata, tetapi yang lebih utama adalah manusianya baik kepala sekolah, guru maupun peserta didik.
Mengapa mengajar dengan hati ? Karena dengan hati kita dapat menimbang aspek humanis, tidak melulu hanya didasarkan pada hal-hal yang pragmatis atau normatif. Mengajar dengan hati bukanlah transfer knowledge, tapi learning how to learn, memberikan pembelajaran yang bermakna. Pendidikan merupakan suatu proses bermakna, tidak sekedar menumpuk pengetahuan peserta didik, tetapi menanamkan nilai-nilai yang menjadi bekal bagi kehidupan peserta didik dalam mengembangkan kekuatan spiritual, pembentukan akhlak mulia, mengolah aspek kognitiv dan motorik menjadi bermakna baginya dan juga bagi masyarakat.
Urgensi Mengajar dengan Hati
Guru yang mengajar dengan hati memiliki karakteristik pembelajaran yang unik. Setidaknya ada tiga karakteeristik bagi guru yang mengajar dengan hati. Pertama, menerapkan konsep pendidikan humaniora. Seperti yang diungkapkan Sastrapratedja (2015:27), asumsi dalam orientasi pendidikan humaniora antara lain, 1) menjadi manusia utuh, keseluruhan pribadi manusia adalah yang terpenting, 2) Kurikulum harus fleksibel, “terindividualisasi” dalam arti membuka kesempatan pilihan kepada siswa yang memiliki berbagai minat, aspirasi, kemampuan, kendala, temperamen, dan latar belakang. Guru tidak ”memerintahkan” apa yang harus dipelajari, tetapi menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa memilih apa yang akan dipelajari, 3) Penilaian tidak bersifat”normatif”, komparatif dengan yang lain, tetapi penilaian mengenai perkembangan siswa sendiri.
Kedua, menguatkan potensi , dan membimbing kelemahan yang dimiliki. Peserta didik kita bukan manusia yang sempurna, yang menguasai seluruh bidang yang tersajikan dalam kurikulum. Adanya konsep kecerdasan majemuk (teori kecerdasan Gardner) menjadi salah satu landasan untuk menghargai dan menguatkan potensi yang dimiliki peserta didik, serta menghargai dan membimbing kelemahannya. Mungkin dia kurang mahir dalam matematika, tetapi dia jago melukis. Guru akan menghargai karya lukisannya, tanpa harus menguatkan kelemahan matematikanya tersebut.
Seperti yang diungkapkan Amstrong dalam Uno (2006:61) yang mengomentari tujuh kecerdasan Gardner tersebut, menurutnya 1) setiap orang memiliki tujuh kecerdasan tersebut, 2) kebanyakan orang dapat mengembangkan setiap kecerdasan tersebut sampai derajat kompetensi tertentu; 3) kecerdasan biasanya bekerja dalam bekerja dalam cara yang kompleks; 4) banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori. Guru harus meyakini bahwa setiap peserta didiknya pasti memiliki kecerdasan, mungkin satu, mungkin dua, atau multi intelegensi. Dan gurupun harus menyadari akan keterbatasan yang dimiliki untuk dapat melayani seluruh potensi kecerdasan peserta didik.
Dengan konsep menguatkan potensi, dan membimbing kelemahan yang dimiliki maka guru akan berupaya lebih mengenal lebih dekat pada peserta didiknya, mengetahui apa yang menjadi kendala baginya dalam belajar, dan mengetahui karakteristiknya. Konsep ini akan mencegah lahirnya penyakit obsesif kompulsif belajar. Seperti yang diungkapkan Harry Santosa (2017:113), sikap terbaik orang tua adalah menerapkan kaidah emas, fokus pada kekuatan dan siasati keterbatasan. Artinya fokus pada hal-hal positif yang produktif dan mensiasati hal-hal yang tidak produktif yang akan menjadi kelemahannya. Di sekolah, guru adalah orang tua mereka, yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi penyejuk dan membangkitkan motivasi mereka.
Ketiga, menanamkan nilai-nilai karakter dalam setiap proses pembelajaran. Dalam buku Dirjen Dikdasmen (2010;10) pendidikan karakter didefinisikan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan yang baik, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kehidupan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Untuk mencapai pada tujuan pendidikan karakter tersebut maka implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan secara sistemik dan berkesinambungan, melibatkan peran guru dalam pembelajaran, membangun pembiasaan, serta memberi keteladanan. Jangan menganggap implementasi ini bukan hal yang mudah, tetapi harus dinyatakan bahwa implementasi ini bukan hal yang sulit. Ketika semua elemen disekolah peduli, terlibat, dan menancapkan nilai-nilai karakter tersebut maka akan mampu mewujudkan restorasi pendidikan karakter.
Mari mengajar dengan hati, menghadirkan pembelajaran yang menghargai semua potensi yang dimiliki peserta didik, menggandeng mereka dengan kasih sayang dan kelembutan, menanamkan nilai-nilai akhlak mulia, menunjukkan kepada mereka hakikat kita sebagai guru sejati, serta memberi keteladanan. Mengajar dengan hati adalah pendidikan yang sejati, memberikan penguatan dalam pendidikan, dan bukan “mengajarkan” atau transfer knowledge. (*)