Harianjateng.com- Himbauan pemerintah kepada nelayan agar menggunakan alat tangkap ramah lingkungan terus dihembuskan, ada yang sudah mengingutinya adapula yang masih tetap bertahan dengan pendiriannya. Sejatinya mereka yang masih bertahan bukan tanpa alasan, mereka masih memiliki keraguan ketika berpindah ke lain alat tangkap.
Akankah dengan bergantinya alat tangkap, keberlangsungan hidup mereka akan terjamin ? Keraguan ini biasanya dirasakan oleh kalangan nelayan kecil pantura, cara kerja mereka yang menuntut bahwa penghasilan hari ini selain untuk memenuhi kebutuhan hari ini atau besok, juga merupakan modal untuk esok hari melaut atau malah untuk membayar hutang bahan bakar atau kebutuhan melaut hari ini kepada bakul. Jika merugi, maka terpaksa melakukan peminjaman lagi dan biasanya terlunasi ketika musim panen atau menjual beberapa barang-barang dirumah.
Nelayan-nelayan ini biasanya melaut rata-rata 8 jam/hari, hari jumat biasanya mereka libur. Lingkup wilayah operasi penangkapan mereka pun sangat terbatas, perahu yang mereka miliki dibawah 10 GT, bahkan di Tambak Lorok Semarang kebanyakan dibawah 5 GT. Alhasil nelayan Tambak Lorok beroperasi tidak jauh dari pinggiran pantai, meskipun kadang karna kelangkaan ikan mereka memaksakan diri beroperasi hingga wilayah Kendal. Selain itu, jarak dermaga yang berdekatan dengan pelabuhan Tanjungmas, membuat nelayan kadang perlu lebih waspada ketika beroperasi agar tidak bergesekan dengan kapal yang lalu-lalang kepelabuhan.
Nelayan Tambak Lorok ada yang beroperasi dini hari selepas subuh ataupun petang selepas maghrib. Lampu penerangan mereka seadanya, kadang keberadaan kapal – kapal batu bara yang lepas jangkar tak jauh dari dermaga cukup mengganggu. Kadangpula lampu navigasi yang berada di dekat Dam sebagai rambu-rambu acuan nelayan lampunya mati, disinilah insting seorang nelayan teruji.
Hasil tangkapan nelayan biasanya sudah ditunggu oleh istrinya untuk dibersihkan terlebihdahulu sebelum dijual kebakul. Antara nelayan dengan bakul memang tidak ada perjanjian yang terikat, namun rasa kepercayaan nelayan karena telah dibantu ketersediaan bahan bakar, sehingga nelayan memiliki rasa iba jika menjual ikan ke lain orang. Namun menurut hemat kami ada yang perlu dirubah, yakni dalam penentuan harga. Tidak sedikit nelayan yang hanya tau harga ikan berdasarkan harga dari bakul, penentuan hargapun kebanyakan masih dipegang penuh oleh bakul.
Kenapa tidak melalui proses lelang di Tempat Pelelangan ikan ? Nelayan mengeluhkan tentang beban restribusi serta pelelangan yang hanya diikuti oleh segelintir orang, sehingga malah terkesan dimonopoli. Akhirnya nelayan memilih menjual langsung ke bakul tanpa melewati proses lelang, akibatnya cukup sulit jika kita mencari data valid hasil tangkapan nelayan di Tambak Lorok.
Seiring dengan adanya pembangunan Kampung Wisata Bahari, besar harapan adanya langkah dari pemerintah untuk menata manajemen ke nelayanan di Tambak Lorok. Sehingga pembangunan infrastruktur dapat diimbangin dengan pembangunan SDMnya. Perlu dipertimbangkan juga pembangunan cold stronge ataupun lumbung ikan seperti halnya di bulog, dengan sistem yang lebih mudah diakses. Harapannya ketikan musim panen diaman hasil tangkapan melimpah nelayan bisa menitipkan hasil tangkapan dilumbung tersebut agar harga dipasaran tidak turun, ataupun bisa juga dimanfaatkan bagi pedangan ketika hari mulai petang agar ia tidak terpaksan menjual ikan dengan harga murah agar barang jaulannya habis.
Ya, ini menjadi PR kita bersama untuk memulai perubahan kearah yang lebih baik, tentu butuh proses menuju kearah sana. Yuk, dukung nelayan dengan makan ikan setiap hari agar mereka tetap bisa melaut, jangan sampai kita kehilangan nelayan karna banyak yang beralih profesi.
Penulis: Hendra Wiguna, Humas KNTI Kota Semarang
Red-HJ99