Ilustrasi: PLTS di Nglebak, Blora, Jawa Tengah.

Oleh Hamidulloh Ibda

Energi berkeadilan menjadi harga mati bagi warga negara Indonesia. Tak hanya dalam pendidikan dan ekonomi, semua masyarakat Indonesia harus mendapatkan energi laik. Salah satu wujudnya mendapatkan tenaga listrik sebagai kebutuhan dasar masyarakat khususnya di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia. Bentuk keadilan energi itu dapat melalui pemerataan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Pengelolaan PLTS di Indonesia selama ini mengalami banyak kendala, sehingga masyarakat di daerah 3T belum mendapat energi listrik secara menyeluruh. Padahal, data Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyebut sampai awal 2019, ada 660 pengguna PLTS di Indonesia. Pengguna itu secara rinci 40-50 persennya merupakan rumah tangga, sedangkan sisanya sektor komersial, industri dan bisnis (Republika.co.id, 20/6/2019). Jika berjalan maksimal, tentu PLTS menjadi salah satu jurus mewujudkan energi berkeadilan, baik dinikmati masyarakat biasa, organisasi, dan lembaga pemerintahan sendiri.

Sampai tahun ini, kinerja pemerintah melalui Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah maksimal. Namun perlu ditingkatkan dalam memenuhi kebutuhan dasar listrik bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab, data Dirjen Ketenagalistrikan ESDM menyebut masih ada 1,8 juta rumah tangga di seluruh Indonesia belum teraliri listrik. Khususnya, di daerah Jawa Timur, Papua, dan Papua Barat (Kompas.com, 30/3/2019).

Banyak faktor penyebab PLTS di Indonesia belum maksimal dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pernah mengemukakan enam kendala PLTS di Indonesia. Mulai permasalahan lahan, kualitas sinar matahari, tingkat bunga pinjaman (interest rate) bagi investor, perpajakan, sistem manual dalam pengoperasian PLTS, dan pola konsumsi listrik (Katadata.co.id, 1/2/2018).

Perlu program terstruktur, sistematis, masif dan berkelanjutan untuk menuntaskan problem tersebut. Mengapa? Di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini sangat ironis ketika masih ada warga negara Indonesia belum menikmati listrik. Hal itu merupakan amanat UUD 1945 dan menjadi bagian dari salah satu butir Pancasila.

Energi Berkeadilan Terbarukan
Problem ini harus dijawab melalui penguatan PLTS dengan mengacu konsep Energi Berkeadilan Terbarukan (EBT). Konsep EBT sebenarnya tak hanya pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Microhydro (PLTM), Pembangkit Listrik Tenaga Bio Gas (PLTBG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM), namun juga PLTS. EBT harus ditransformasikan ke dalam pengelolaan PLTS agar dapat menuju visi pemerintah dalam mewujudkan akselerasi energi berkeadilan sebagai bagian dari amanat Nawacita. Apalagi, secara kuantitatif, potensi PLTS dan minat pasar Indonesia pada pembangkit listrik ini sangat tinggi.

Sumber-sumber kekayaan dan pelayanan negara harus mendukung PLTS sebagai bagian dari mewujudkan pemanfaatan listrik yang inklusif. Di era serba digital ini, sangat paradoks ketika sebagian besar masyarakat sudah asyik dengan produk teknologi, namun jutaan orang masih gelap gulita saat malam hari karena daerahnya belum ada listrik. Hal ini harus dituntaskan secepatnya oleh semua elemen.

Sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero), pemerintah menarget penggunaan energi surya di Indonesia mencapai 1047 MegaWattpeak (MWp) sampai 2025. Sampai 2018, pemanfaatan energi surya melalui PLTS sebesar 94,42 MWp. Artinya, keterserapan energi surya perlu dikuatkan agar masyarakat hidup laik dengan terpenuhinya kebutuhan dasar berupa listrik.

Di akhir 2015, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019, Presiden Jokowi menetapkan 122 kabupaten yang masuk ke dalam kategori daerah 3T pada 2015-2019. Daerah 3T jumlahnya tak sedikit dan membutuhkan akses untuk mendapatkan energi surya yang laik. Tanpa konsep dan program yang bernas, tentu energi surya berkeadilan akan timpang.

PLTS di Daerah 3T
Perlu konsep dan rencana masa depan demi mewujudkan keadilan energi melalui PLTS, khususnya di daerah 3T. Pertama, pemerataan PLTS di daerah 3T berbasis kebutuhan. Perlu analisis kebutuhan dengan manajemen yang apik untuk memeratakan energi surya di daerah 3T. Pemerataan ini harus menjawab dan menuntaskan permasalahan lahan, kualitas sinar matahari, tingkat bunga pinjaman bagi investor, perpajakan, sistem pengoperasian PLTS, dan pola konsumsi listrik.

Kedua, integrasi PLTS dengan Base Transceiver Station (BTS) di daerah 3T. Tujuannya, selain memenuhi energi surya, masyarakat dapat mengakses internet. BTS ini menjadi bagian dari usaha meningkatkan konektivitas dengan sistem on air khususnya menyediakan layanan sinyal 4G bagi masyarakat.

Ketiga, program “satu desa satu PLTS” dengan model panel surya. Riset Sinaga (2018) menyebut besar intesitas radiasi matahari pada desa jika 200-400 w/m2, maka pembangunan PLTS dapat menggunakan sistem komunal yang dibangun di suatu titik sebagai ladang panel surya. Jika satu desa membutuhkan 200-400 W/m2, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sekitar 7-10 persen per tahun. Peluang ini sangat menguntungkan, baik bagi pemerintah, investor, maupun masyarakat sebagai konsumen energi surya.

Keempat, integrasi PLTS dengan Pembangkit Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Microhydro (PLTM). Konsep yang biasa disebut sistem “hibrida” ini merupakan solusi menjawab realitas alam yang menjadikan PLTS terkendala ketika cuaca di daerah 3T tak menentu. Riset Almanda (2003) menemukan PLTS dengan menggunakan fotovoltaik dapat direlasikan lewat integrasi PLTD dan PLTM dengan sistem “hibrida”. Tujuannya mendapatkan daya guna optimal, karena dalam sistem ini, PLTS menjadi komponen utama. Sedangkan pembangkit listrik lain dimanfaatkan untuk mengompensasi kelemahan sistem PLTS sekaligus mengantisipasi cuaca dan sinar matahari yang labil.

Kelima, sentralisasi PLTS. Riset Almanda (2003) menyebut pembangkit listrik dilakukan secara terpusat dan suplai daya ke konsumen dilakukan melalui jaringan distribusi. Sistem ini cocok dan ekonomis pada daerah dengan kerapatan penduduk yang tinggi. Sentralisasi juga strategis diterapkan di desa-desa yang penduduknya jarang, karena daya yang digunakan semakin ringan.

Keenam, penerapan PLTS terapung. Konsep ini cocok dilakukan di daerah 3T yang memiliki danau atau waduk luas untuk efesiensi. Jika satu lokasi PLTS terapung memiliki daya sebesar 200 Megawatt (MW), maka warga di sekitar dapat memanfaatkannya secara merata.

Ketujuh, sistem PLTS dengan fotovoltaik yang sesuai kondisi alam. Intensitas panas matahari tak menentu memerlukan blueprint yang mendukung sistem operasional PLTS, antara secara langsung dengan fotovoltaik atau tak langsung dengan pemusatan energi surya. Di sini fotovoltaik mengubah langsung energi cahaya menjadi listrik menggunakan efek fotoelektrik. Hal itu harus dipertimbangkan masak, karena panas matahari di daerah 3T berbeda.

Kedelapan, pemberian harga terjangkau bagi masyarakat di daerah 3T dengan sistem “satu harga” seperti program Presiden Jokowi yang menerapkan “BBM Satu Harga”. Model ini menjadi alternatif untuk memeratakan energi listrik di semua daerah 3T.

Kesembilan, sinergi antarlembaga. Mulai Ditjen EBTKE, Kemenkeu, Kominfo, OJK, PLN, pelaku bisnis, dan pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk mewujudkan PLTS yang tepat sasaran, terbarukan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Sinergi ini tak hanya dari sistem dan konsep, namun juga masalah harga, perawatan, dan akses ke rumah warga dengan prinsip integrasi-interkoneksi.

PLTS bukan segalanya, namun energi berkeadilan yang menjadikan masyarakat hidup laik dengan listrik dapat berawal dari sana. Lalu, kapan kita mewujudkan energi berkeadilan melalui PLTS?

-Penulis Merupakan Jurnalis dan Pengurus Bidang Literasi Media SMSI Provinsi Jawa Tengah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini