Oleh Hamidulloh Ibda
Akselerasi Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menjadi kunci merealisasikan impian energi berkeadilan yang dipacu Kementerian ESDM. Pasalnya, selama ini kebutuhan energi listrik semakin tinggi, namun faktanya belum semua masyarakat dapat menikmatinya. Padahal hal itu menjadi amanat Pancasila dan UUD 1945, bahwa semua masyarakat berhak mendapatkan keadilan energi.
Sebagai bentuk penyediaan EBT, pembangunan PLTSa harus dipercepat. Tujuannya untuk mewujudkan keadilan energi menyeluruh di wilayah Indonesia. Misi EBT melalui PLTSa juga tak sekadar pemenuhan akses listrik, akan tetapi perbaikan kualitas lingkungan dengan konsep konservasi alam.
Pemerintah menargetkan sampai 2022 akan mengoperasikan 12 PLTSa yang menghasilkan listrik hingga 234 Megawatt (MW) dan berasal dari pengolahan 16 ribu ton sampah per hari. Rencananya, pembangunan PLTSa akan dimulai di Solo yang akan menghasilkan 10 MW (CNBC Indonesia, 22/7/2019). Jika per kabupaten/kota tersedia 10 MW, tentu tinggal menghitung kebutuhan dasar listrik tiap kabupaten/kota. Hal ini menjadi gerakan revolusioner dalam mewujudkan energi berkeadilan.
Konservasi untuk Energi Berkeadilan
Konservasi selama ini disalahpahami hanya sekadar untuk pelestarian alam. Padahal, konservasi dapat ditransformasikan untuk menciptakan teknologi baru dengan prinsip EBT yang sudah dikonsep Kementerian ESDM. Ada tujuh prinsip konservasi yang digagas Unnes (2012) sebagai landasan EBT melalui PLTSa. Mulai dari konservasi keanekaragaman hayati, arsitektur hijau dan sistem transportasi internal, pengelolaan limbah, kebijakan nirkertas, energi bersih, konservasi, etika, seni, dan budaya serta kaderisasi konservasi.
Dari prinsip di atas, ada poin substansial untuk mendorong EBT melalui kegiatan konservasi sampah, limbah, dan sejenisnya untuk mendukung PLTSa. Hal itu selaras dengan pendapat Radhi (2019), bahwa pembangunan PLTSa memberikan mutual benefit, alasannya karena memperbesar bauran EBT PLN yang ditargetkan mencapai 23 persen yang ditarget pada 2025. PLTSa juga berkontribusi dalam pengelolaan sampah dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat.
Adanya PLTSa dengan pengolahan sampah menjadi listrik akan mengatasi permasalahan sampah, sehingga misi konservasi, penghijauan, dan menciptakan tata kelola kota bersih tak sekadar menjadi mimpi. PLTSa harus didukung dengan berbagai inovasi melalui integrasi EBT untuk energi listrik yang berdampak pada energi berkeadilan maupun pelestarian alam.
Kita tentu merinding melihat jumlah sampah yang ada. Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/tahun. Lebih rinci, sebanyak 3,2 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik. Dari data ini, Indonesia dikategorikan sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia (Kompas.com, 19/08/2018).
Jika jumlah sampah itu dikonservasi menjadi energi, tentu stigma “Indonesia negara sampah” secara otomatis berubah menjadi “Indonesia negara energi”. Salah satu jawaban realistisnya adalah dengan menguatkan PLTSa dengan prinsip EBT. Presiden Joko Widodo sendiri tengah menggenjot PLTSa. Total 12 PLTSa yang diusulkan kepala daerah dan ditargetkan dapat segera terealisasi.
Secara teknis, pengembangan proyek instalasi PLTSa ditargetkan beroperasi mulai 2021 dengan tahap konstruksi pada 2019 ini. Dengan nilai investasi US$ 120 juta, PLTSa ini dapat menampung 1.200 ton sampah per hari (Detik.com, 23/7/2019). Dari target pemerintah ini harus diimbangi dengan peran semua elemen dalam mendukung PLTSa yang bertujuan memenuhi akses listrik di daerah-daerah seluruh Indonesia.
PLTSa untuk Energi Berkeadilan
PLTSa sebagai bagian dari EBT menjadi solusi menggapai visi keadilan energi. Untuk itu perlu desain jangka pendek dan jangka panjang untuk mewujudkan visi keadilan energi. Pertama, merumuskan sistem PLTSa di semua daerah berbasis kebutuhan. Dengan target pada 2021 terlaksana, pemerintah telah memiliki 12 daerah piloting. Dari daerah ini perlu pemetaan lagi agar PLTSa benar-benar tepat sasaran.
Kedua, penguatan manajemen PLTSa dari pemilahan dan penyimpanan sampah, pembakaran sampah, pemanasan boiler sampai penggerakan turbin, generator, dan hasil. Dari semua proses ini perlu penguatan manajemen baik dari dalam maupun luar negeri. Tujuannya, agar PLTSa tidak asal-asalan dan ujung-ujungnya “mangkrak” jika tak dikelola dengan baik.
Pemilihan sampah plastik sesuai sistem pembakaran agar menjadi energi listrik menjadi penting. Pemilihan dan pemilahan sampah plastik dengan sampah organik harus optimal, karena akan mengurangi dampak buruk dan tentunya mengutamakan prinsip energi ramah lingkungan.
Ketiga, pemanfaatan teknologi fermentasi metana sesuai potensi energi di daerah sasaran. Dalam sistem ini, tak hanya sampah plastik yang dikonservasi, namun juga sampah dapur, air seni, isi septic tank diolah berbasis fermentasi gas metana. Kemudian, diambil biomassnya yang dapat menghasilkan listrik, sementara residunya menjadi bahan pembuatan kompos. Teknologi ini tentu sangat potensi di daerah-daerah agraris yang memiliki stok sampah dapur, isi septic tank, yang juga membutuhkan kompos untuk kebutuhan pertanian.
Keempat, kerjasama dengan perusahaan pemakai energi terbarukan. Sampai 2019, sudah ada sembilan perusahaan yang komitmen untuk memenuhi 100 persen kebutuhan listrik dari energi terbarukan pada 2020 hingga 2050. Langkah ini menjadi solusi agar pengelolaan PLTSa terbantu secara finansial karena sasarannya tak hanya masyarakat umum namun juga perusahaan.
Kelima, perlu kebijakan khusus tentang tanggungjawab dan peran produsen plastik. Pasalnya, sampai detik ini belum ada peraturan menteri terkait hal itu. Tujuannya, ketika PLTSa berjalan, maka produsen sampah plastik tak kebingungan dalam menjalankan tugasnya.
Keenam, kebijakan konservasi sampah di tiap daerah, mulai dari sampah rumah tangga, perkantoran, hingga perusahaan/pabrik besar. Modelnya, dengan menyediakan tong sampah khusus plastik yang dipilih sejak awal sehingga sebelum disetor ke TPA/PLTSa memudahkan pengolahannya.
Ketujuh, pembatasan pengunaan listrik di rumah, kantor, dan pabrik. Perlu kebijakan “matikan lampu” jika tidak digunakan harus ditegakkan. Tujuannya untuk memutus mata rantai pemborosan listrik. Sebab, meski PLTSa sudah jalan, namun ketika tak diimbangi dengan gerakan hemat listrik, maka sama saja kontraproduktif dengan keadilan energi.
Keadilan energi menjadi bagian dari implementasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945 dan Pancasila. Lalu, kapan PLTSa ini mampu mewujudkan keadilan energi?
-Penulis adalah jurnalis dan pengurus Bidang Literasi Media SMSI Jawa Tengah