Harianjateng.com- Selama ini orang belajar rata-rata hanya mencari gelar dan ijazah. Padahal sebenarnya, gelar dan ijazah bukanlah masalah jenjang kecerdaa, tetapi hanya jenjang pendidikan. Padahal hakikat belajar menurut dosen saya, tidak sekadar meraup ilmu sebanyaknya, memperoleh gelar sederetanya, melainkan untuk menata cara berpikir dan merubah perilaku.
Namun hal itu tidak bisa dimungkiri karena syarat orang bekerja sekarang memang mengutamakan gelar dan ijazah, maka sangat wajar bila seseorang memburu hal tersebut. Mereka berlomba-lomba mengejar gelar dengan tidak didasari hakikat ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Di sisi lain, orang tua masih punya paradigma bahwa sekolah atau kuliah itu hanya untuk mendapat ijazah sebagai tiket untuk mencari kerja.
Ketika yang diburu sekadar gelar ijazah, maka wajar banyak orang berpendidikan tetapi tidak beradab. Akhirnya, lahirlah korupsi, suap pembunuhan, asusila dan masih banyak lagi yang jelas membuat kita geram. Namun, anehnya para pelaku tindakan kejahatan tersebut adalah orang-orang pintar yang bergelar sarjana dari berbagai lulusan universtas yang ternama yang dengan santainya tanpa menaruh rasa beban. Melihat fenomena dan kejadian yang terjadi saat ini, sepertinya ada yang keliru dengan pola pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan formal di Indonesia dan semestinya harus dikaji ulang.
Hilangnya Sakralitas Ijazah
Pola pendidikan formal saat ini hanya mengajarkan ilmu-ilmu dunia. Sehingga, banyak menghasilkan orang-orang pintar tetapi sayangnya mereka tidak terdidik dan memiliki budi pekerti yang lemah. Akibatnya, orang-orang pintar tersebut malah menjadi orang bejat, maling dan penindak kaum yang lemah. Padahal seharusnya merekalah yang menjadi penolong dan pemimpin baik untuk menciptakan kemaslahatan bagi orang banyak.
Fenomenanya, ternyata masyarakat terjangkit penyakit gila ijazah, gila gelar, dan gila jabatan. Bagaimana tidak, jika hanya untuk mendapatkan gelar mereka dengan gampangnya membeli ijazah dan tentunya itu dengan biaya yang tinggi. Mereka tidak mengikuti perkuliahan sama sekali tetapi mereka mendapatkan ijazah dengan alasan mengikuti kuliah kelas jauh tetapi berkas tidak bisa dibuktikan. Sehingga usaha untuk mencerdaskan manusia Indonesia seluruhnya dan seutuhnya yang menjadi tujuan pendidikan menjadi momok yang membingungkan dalam paradigma masyarakat.
Hal tersebut tentu saja tidak bisa hanya menyalahkan sebelah pihak saja. Karena mereka tidak mungkin melakukannya jika tidak ada kampus yang membukanya.
Benar saja, Kemenristek Dikti mengincar banyak kampus yang ditengarai menjualbelikan ijazah dengan modus kuliah aktif. Tak hanya itu, ternyata ada juga kampus melakukan praktik skripsi jiplakan dan meluluskan mahasiswa tanpa menyelesaikan tesis dan mengeluarkan ijazah tanpa dasar ( Tirto.id, 28/08/2018).
Ada juga kasus yang menimpa komedian NQ mahasiswa UNJ, menjadi salah satu contoh nyata ijazah bodong. Status akademiknya yang memalsukan ijazah S2 sekaligus S3 tentu membuat banya pihak bertanya-tanya, padahal dari pihak UNJ sendiri tidak pernah mengeluarkan surat keterangan lulus untuknya (Detiknews, 26/06/2019).
Menilik dari kasus-kasus di atas, sudah sangat jelas bahwa nilai kesakralan ijazah telah luntur. Mereka berlomba-lomba mencari hanya untuk menyandang sederet gelar. Kurangnya pemahaman hakikat ilmu membuat mereka hanya berpendidikan, tanpa terisi ilmu apalagi beradab. Tanpa terkecuali pada kampus manapun. Karena pada hakikatnya kampus merupakan media pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia menuju kehidupan yang lebih baik.
Desakralisasi
Jika digali lebih dalam, ternyata dewasa ini gelar akademik telah mengalami desakralisasi. Gelar dan ijazah yang seharusnya bernilai sakral ternyata hanya sebagai media memperoleh jabatan, kekuasaan, dan materi. Kekeliruan ini sudah saatnya kita luruskan. Karena pada hakikatnya ijazah adalah simbol dari ilmu yang telah dipelajari selama kuliah dan sekaligus tanggung jawab terhadap pengamalan ilmu tersebut.
Munculnya kampus-kampus bodong tersebut menjadikan banalitas dalam dunia pendidikan. Artinya praktik penjualan ijazah serta penyematan gelar palsu akademik menjadi hal yang lumrah dan dianggap biasa. Hal ini disebabkan karena tumpulnya hati nurani dan tumpunya akal budi pekerti dalam memahami lebih mendalam tentang hakikat gelar akademik dan hakekat pendidikan dengan buktinya ijazah. Oleh karena itu, perlu adanya pembenahan untuk meluruskan kesalah artian yang mewabah di dunia pendidikan ini.
Perlu diketahui, bahwa ijazah di sini beda halnya dengan ijazah ala santri. Di mana ijazah ala santri adalah ijazah yang diberikan oleh kyai untuk para santrinya. Tentu ini tidak mudah. Karena ijazah ala santri merupakan bentuk ke-riyadhoh-an yang diwujudkan dengan puasa, zikir, dan larangan-larangan yang menunjang keselarasan dalam ber-Riyadhoh. Sedangkan ijazah yang formal bisa didapatkan hanya dengan mengikuti proses perkuliahan tanpa ada acara puasa, zikir, dan lain sebagainya.
Dengan pendidikan yang dipermudah seperti ini harusnya bisa mengembalikan hakikat pendidikan yang sebenarnya tanpa menyalahgunakan gelar. Penyerahan ijazah yang diawali dengan pembaiatan dan sumpah setia harus disertai dengan penyeimbangan antara ilmu dengan adab sehingga nantinya legitimasi ijazah dan gelar dalam masyarakat dapat berjalan dengan semestinya sesuai hakikatnya masing-masing.
Oleh : Ina Nia Lestari
Aktivis IPNU-IPPNU Tembarak Temanggung
Red-HJ99