Harianjateng.com- Krisis ekonomi politik di Indonesia kian hari semakin memprihatinkan. Perselisihan dikalangan elit Borjuasi pun semakin menajam. Konflik politik yang terjadi pada elit politik di pemerintahan kini dirasakan oleh masyarakat khususnya para petani.
Konsep kedaulatan pangan secara resmi telah menjadi tujuan dan juga pendekatan dalam pembangunan pangan nasional, sebagaimana tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bersama-sama dengan kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Namun demikian, sampai saat ini perumusan dan pemahaman tentang kedaulatan pangan masih beragam dan kurang jelas. Tulisan ini bertujuan melakukan review konsep kedaulatan pangan yang berlangsung dikebijakan-kebijakan pemerintah di Indonesia.
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kedaulatan pangan merupakan suatu strategi dasar untuk melengkapi ketahanan pangan sebagai tujuan akhir pembangunan pangan, karena kedua konsep ini sesungguhnya sejalan dan saling melengkapi. Hasil dari pendalaman terhadap berbagai konsep, dirumuskan bahwa kedaulatan pangan berkenaan dengan hak dan akses petani kepada seluruh sumber daya pertanian mencakup lahan, air, sarana produksi, teknologi, pemasaran, serta terhadap konsumsi. Kondisi ini dapat diukur pada berbagai level baik level individu, rumah tangga, komunitas, wilayah, dan juga nasional.
Di tingkat parlemen, ketergantungan pangan dan tak sanggupnya Indonesia menghasilkan produksi pangan dalam negeridijawab oleh DPR dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan untuk mencegah konversi lahan pertanian ke non pangan. Krisis pangan tahun 2008 menyadarkan banyak kalangan bahwa untuk memperkecil ketergantungan pangan di Indonesia, harus lebih luas lagi upaya yang harus dilakukan.Tidak cukup hanya sekedar mencegah konversi lahan, tapi harus lebih luas lagi, mengatur soal perdagangan pangan.
Atas desakan dari gerakan rakyat, diantaranya pada 24 Februari 2011, SPI bersama sejumlah organisasi tani lainnya, organisasi sosial lain, LSM, hingga para akademisi menggagas suatu Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia. Petisi Kedaulatan Pangan ini bertujuan untuk memperkuat dan memperluas desakan kepada pemerintah untuk mengubah sistem pangan dan pertanian yang ada saat ini demi melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.
Kebangkitan perjuangan kedaulatan pangan ini juga mulai terlihat dengan adanya respons di tingkat legislasi dengan perubahan UU Pangan No. 7/1996 guna menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan kepada setiap warga negara.
Sejumlah organisasi terkait yang berkompeten – diantaranya SPI, Indonesia Human Right Commission for Social Justice (IHCS), Solidaritas Perempuan (SP), Bina Desa dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) – jugatelah menyampaikan naskah akademik untuk perubahan Undang-undang tersebut. Langka ini melahirkan UU Pangan No. 18 tahun 2012 yang berisi tentang prinsip-prinsip kedaulatan pangan. Kemudian untuk memperkuat posisi hak asasi petani petani sebagai kekuatan utama untuk memproduksi pangan, SPI dan gerakan sipil lainnya melalui proses panjang sejak tahun 2000, akhirnya berhasil mendorong parlemen untuk mengeluarkan UU N0. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Tidak berhenti gerakan rakyat di Indonesia juga melakukan upaya pengaturan kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia, seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, dan UU Penanaman Modal No. 25/2007.
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat melimpah, sumber daya alam yang sangat melimpah namun tidak diimbangi dengan pertumbuhan sumber daya manusia, sehingga kekayaan alam yang ada di Indonesia tidak mampu dikelola dengan baik yang seharusnya dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia. Indonesia sendiri memiliki luas lahan sawah 8.186.469,65 ha, luas perkebunan 11.546.655,70 ha, luas lading 5.073.45,40 ha, lahan sementara yang tidak diusahakan 11.957.736 ha (BPS 2017).
Dewasa ini, ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih ramai terjadi. Monopoli kekayaan agraria terjadi di hampir semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71% dikuasai korporasi kehutanan, 16 % oleh korporasi perkebunan skala besar, 7% dikuasai oleh para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional, dan 10 % orang terkaya menguasai 7 % kekayaan nasional.
Jumlah konflik agraria yg ditangani LBH Indonesia melibatkan lahan seluas 7.475.426.966 Hektar. Konflik agrarian diperkotaan merupakan jumlah terbanyak yaitu 45% , Perkebunan 18%, Kehutanan 12%, Pertambangan 4%, Infrastruktur 4% dan Pesisir 3%, Sedangkan jumlah korban adalah 249.855 Orang dan 95.567 KK.
Represifitas dan kriminalisasi gerakan rakyat juga semakin marak pada konflik agraria di Kulon progo melawan pembangunan bandara NYIA, 15 Aktivis ditangkap. Sementara di Sumbawa barat seorang warga ditembak mati aparat saat memperjuangkan tanahnya melawan PT. Sutera Marosi.
Sedangkan di Sukabumi Jawa barat puluhan petani yg mempertahankan tanahnya dikriminalisasi dan ditetapkan sebagai tersangka pada hari Rabu 9 Agustus 2017, 4 Maret 2018 dua warga dan satu aktivis dikriminalisasi setelah memperjuangkan haknya melawan perampasan tanah oleh PT. RUM di Sukoharjo. Kamis 9 Mei 2019 di Semarang juga merasakan refresifitas dari para aparat satpol PP yg menggusur kawasan Tambakrejo.
Kedaulatan Pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga yang berdasarkan pada prinsip solidaritas, namun dengan banyakanya konflik agraria yang merampas hak atas tanah oleh pemerintah cita-cita kedaulatan pangan 2045 tersebut akan dapat tercapai, sedangkan tanah tempat petani bercocok tanam dan melakukan budidaya demi tercapainya kedaulatan pangan sudah habis dirampas oleh pemerintah dan digantikan oleh gedung-gedung pencakar langit.
Red-HJ99