Harianjateng.com- Pada waktu pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Daerah pada tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999, terjadi perdebatan intens dan panjang untuk mengganti model pemilihan kepala daerah dari semula dipilih oleh DPRD menjadi dipilih langsung. Saat itu suasana penyelenggaraan Pemilu 2004, tonggak demokrasi langsung dan fase bangkitnya semangat kedaulatan rakyat dalam Pemilihan Umum (Pemilu), tampak kuat. Terinspirasi oleh sukses pemilihan presiden secara langsung pertama kalinya, akhirnya DPR memutuskan Pilkada juga dilakukan langsung.
Terbaca ada keyakinan yang mendasarinya, yakni dengan Pilkada langsung, maka daulat menentukan pemimpin ada pada pemilih. Praktik politik uang yang kala itu ditengarai banyak terjadi dalam pemilihan di DPRD juga bisa dikikis. Beberapa tujuan penting juga ditengahkan, misalnya dengan model pilkada langsung, maka akan membuka ruang yang lebih luas bagi munculnya calon potensial dari berbagai kalangan, termasuk calon alternatif perseorangan. Harapan lahirnya pemimpin daerah berkualitas dan memiliki hubungan konstituensi yang kuat dengan rakyat sebagai pemilih, diyakini akan mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat. Selain itu, Pilkada langsung juga akan membawa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.
Kini setelah 15 tahun setelahnya, Pilkada telah memasuki generasi keempat dan melalui berbagai pengembangan sampai tahap penyelenggaraan dilakukan serentak. Bahkan, ditargetkan pada generasi kelima, Pilkada pada tahun 2024 akan diselenggarakan serentak secara nasional, yang tahun penyelenggaraannya disamakan dengan Pemilu serentak untuk legislatif dan eksekutif. Di tengah suasana persiapan memasuki penyelenggaraan Pilkada generasi keempat, muncul polemik untuk meninjau kembali sistem penyelenggaraan Pilkada ini.
Keinginan meninjau kembali sistem Pilkada ini terkonfirmasi ketika Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyerap aspirasi di tiga daerah, yakni Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat, baru-baru ini. Ada kesamaan temuan yang menarik, yaitu munculnya keinginan meninjau kembali model Pilkada, termasuk kembali ke DPRD.
Muncul sejumlah alasan mulai dari biaya politik tinggi, politik uang yang marak, besarnya biaya penyelenggaraan, serta potensi fragmentasi dan konflik masyarakat yang terbelah. Bahkan, muncul ungkapan, dari pada biaya besar dihabiskan untuk pilkada, lebih baik dipergunakan untuk membangun infrastruktur dan menyejahterakan masyarakat. Begitu pun ketika rapat kerja antara Menteri Dalam Negeri dengan Komite I DPD, lahir kesepahaman mengevaluasi pilkada dengan pendekatan akademik dan empirik. Semua aspirasi yang muncul layak menjadi bahan evaluasi.
Sejumlah pertanyaan ontologis, seperti apa makna, tujuan, dan manfaat Pilkada perlu kembali diketengahkan. Masihkah konsisten dengan tujuan awalnya? Lebih tegas lagi, manfaat dan mudaratnya lebih besar mana? Atau setidaknya, mari kita refleksi kembali ke tujuan dan esensi pilkada sebagai model memilih kepala daerah.
Evaluasi Model Pemilihan
Penyelenggaraan Pilkada yang berlangsung sejak tahun 2005, berangkai dengan penyelenggaraan Pemilu legislatif, Pemilu presiden, dan bahkan pemilihan kepala desa, yang berjalan tanpa henti. Setelah Pemilu 2014, sejumlah wilayah di Indonesia berlangsung Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dan pada saat yang sama sudah mulai berlangsung tahapan Pilkada. Akumulasi penyelenggaraan itu menimbulkan munculnya berbagai ungkapan menggelitik, seperti PLPL (pil lagi, pil lagi). Selain ada kesan kejenuhan, juga ada bayang-bayang kontestasi yang tajam dan semua ikutannya, seperti politik uang, pembelahan masyarakat, dan tentu anggaran yang terus meningkat.
Maka dari itu, beralasan jika muncul keinginan mengkaji ulang desain Pilkada, meski tetap dalam dua kutub. Sebagian ingin kembali dilakukan DPRD atau mencari model lain, sedangkan pihak lain ingin tetap mempertahankan model Pilkada langsung. Pada 2014 sesungguhnya sempat disahkan revisi UU Pilkada yang mengembalikan pemilihan ke DPRD, namun karena desakan publik keluar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan Pilkada secara langsung. Penolakan pemilihan oleh DPRD selalu menekankan pada ketidakpercayaan kepada DPRD, sehingga legitimasinya menjadi lemah.
Evaluasi Pilkada untuk menjaga agar Pilkada sesuai dengan makna esensinya tampak sangat mendesak. Karena itu, harus ada upaya menjaga agar tujuan, hasil, dan dampak yang diharapkan bisa terwujud. Perlu upaya memperbaiki setidaknya pada soal efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan. Pilihannya kini adalah kembali melakukan revisi UU Pilkada.
Beberapa pokok revisi mencakup, yaitu pertama, desain Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 2024 tidak lagi relevan karena Pemilu serentak pada tahun 2019 menimbulkan kerumitan dan jatuhnya korban meninggal dalam jumlah besar pada penyelenggara. Maka dari itu, bila dibarengi dengan Pilkada serentak nasional, sangat berisiko tragedi Pemilu serentak tahun ini terulang.
Kedua, penyederhanaan tahapan Pilkada, terutama bisa dilakukan pada penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan cukup dua tahap, yaitu dari DP4/daftar pemilih pemilu terakhir langsung ditetapkan sebagai DPT untuk selanjutnya dibuka DPT Tambahan sampai H-7. Setelah itu, pemilih bisa menggunakan KTP apabila tidak tercantum dalam DPT. Simplikasi ini beralasan karena e-KTP tidak perlu lagi dilakukan pencocokan dan penelitian serta daftar pemilih sementara (DPS) yang menghabiskan biaya sangat besar. Penyederhanaan ini berpotensi menghemat setidaknya sepertiga biaya Pilkada.
Ketiga, syarat pemilih juga perlu dipertimbangkan menjadi berumur 21 tahun agar kedewasaan pemilih lebih terjamin. Kriteria pemilih cukup hanya batas umur, dengan menghilangkan kriteria “telah”, “pernah” , dan “menikah”, karena secara teknis menyulitkan dan tidak terlalu relevan lagi apabila dikaitkan dengan kemampuan memilih. Penyederhanaan ini menjadikan penyusunan DPT berbasis data e-KTP yang akurasinya sudah semakin baik. Kalaupun ada yang belum memiliki e-KTP, dibuka ruang suket (surat keterangan) sebagai pengganti.
Keempat, untuk mengatasi meningkatnya calon tunggal, perlu diatur kembali syarat pencalonan, baik berkenaan dengan ketentuan harus mundurnya dari jabatan politik ketika mencalonkan diri maupun syarat calon independen. Syarat independen bisa dibuat standar dengan melihat suara dukungan rata-rata suatu kursi di DPRD.
Kelima, membuka ruang diberlakukannya Pilkada asimetris. Dalam hal daerah kesulitan pendanaan atau berdasarkan pertimbangan kesiapan masyarakat yang mengacu pada indeks demokrasi di suatu daerah bisa memilih model pemilihan. Pada daerah yang otonomi khusus misalnya, juga dapat dibuka ruang memilih melalui DPRD atau secara langsung sesuai kemampuan serta kesiapannya.
Terobosan lain adalah dengan membuka ruang pemilihan bertingkat model delegasi. Pemilih tidak lagi harus seluruh rakyat karena kesadaran masih rendah dan mudah diintervensi politik uang. Lembaga perwakilan rakyat tingkat desa, seperti anggota Badan Perwakilan Desa atau utusan yang dipilih dari setiap RT dapat mewakili warga untuk memilih. Model ini bisa mereduksi politik uang dengan pengawasan ketat dan penerapan delik pidananya secara tegas. Selain itu, dari sisi teknis tahapan Pilkada, lebih sederhana dan menghemat biaya.
Red-HJ99