Harianjateng.com- Sampai hari ini penyebaran Covid-19 di Indonesia masih menjadi persoalan besar. Angkanya terus bertambah dan belum ada tanda-tanda akan mengalami penurunan. Data per tanggal 18 Mei 2020, pasien positif Covid-19 di Indonesia menyentuh angka 18.010 kasus, di mana 1.191 di antaranya meninggal dunia.
Namun begitu, kondisi ini terlihat belum membatasi aktivitas petani di hampir seluruh wilayah Indonesia. Seperti terlihat di Kabupaten Purworejo misalnya. Meskipun Purworejo saat ini merupakan kabupaten dengan angka Covid-19 tertinggi di Jawa Tengah (68 kasus positif), namun para petani terlihat masih beraktivitas seperti biasa. Para petani bahkan banyak yang masih bekerja tanpa menggunakan masker ataupun menerapkan anjuran untuk menjaga jarak. Memang aktivitas seremonial pertanian seperti pertemuan kelompok tani, dan semacamnya untuk sementara waktu ditiadakan.
Petani bukan tidak mengalami masalah di tengah pandemi ini. Petani padi saat ini dihadapkan pada masalah turunnya hasil panen akibat serangan hama dan penyakit. Seorang petani padi di Kecamatan Pituruh bahkan mengaku hasil panen padi saat ini turun hingga 90%. Lahan seluas 1 ering (sekitar 1750 meter persegi) yang biasanya menghasilkan 8 kuintal hingga 1 ton gabah, panen kali ini hanya mendapatkan 1 kuintal saja.
Lain halnya dengan yang dialami petani sayuran dan buah-buahan. Hasil panen kali ini cukup melimpah. Hal ini didasari atas pengalaman sebelumnya, di mana harga sayuran dan buah-buahan akan mencapai puncaknya saat bulan puasa dan lebaran. Sehingga banyak petani sengaja menanam dengan harapan bisa panen raya sekarang.
Permasalahan utama yang dihadapi petani sekarang adalah susahnya menjual hasil panen dengan harga yang wajar. Seorang petani padi dari Kecamatan Butuh mengatakan, harga gabah sekarang Rp. 450.000 hingga 460.000/kuintal. Padahal dalam kondisi biasa harganya Rp. 500.000/kuintal. Bahkan di saat paceklik bisa sampai Rp. 600.000/kuintal. Cabe dihargai Rp.12.500/kg, jauh dari yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 35.000/kg.
Beban petani terasa semakin berat dengan adanya kenaikan harga pupuk dan obat-obatan. Muhtarom, petani di Kecamatan Bayan mengeluhkan adanya kenaikan harga pupuk. Satu sak pupuk urea yang biasanya seharga Rp.90.000 sekarang naik menjadi Rp. 95.000/sak. Harga pupuk hitam yang biasanya Rp. 100.000/sak naik menjadi Rp.110.000/sak. Kondisi tersebut memang tidak ada kaitan langsung dengan pandemi Covid-19, namun karena terjadi di tengah masa pandemi, hal ini menjadi pukulan tersendiri bagi para petani.
Di sisi lain, pemerintah sedang giat berupaya memutus rantai penyebaran virus Covid-19, dengan mengeluarkan berbagai kebijakan baru PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), pembatasan jam buka pasar, penutupan tempat-tempat wisata, hotel, dan restoran, larangan mudik, dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut telah banyak memberikan dampak bagi petani.
Meskipun dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 disebutkan pengecualian bagi angkutan pangan, kondisi di lapangan bisa saja berbeda. Bahkan di Lamongan disebutkan ada pemerintah desa yang melakukan pembatasan bagi orang luar yang hendak masuk wilayahnya sebagai antisipasi penyebaran COVID-19. Pembatasan tersebut berlaku juga bagi pedagang yang hendak membeli hasil panen, harus diperiksa dan dikarantina terlebih dahulu oleh pihak desa. Dampaknya, pedagang yang niatnya membeli hasil petani itu enggan masuk ke wilayah tersebut.
Kebijakan penutupan hotel, restoran, dan tempat wisata membuat pasokan sayur-sayuran dan buah-buahan tersendat. Sebelumnya, tempat-tempat tersebut merupakan pasar yang cukup favorit untuk komoditas sayuran dan buah-buahan.
Kebijakan larangan mudik bagi perantau ikut memberi dampak tersendiri. Bagi masyarakat Purworejo bagian selatan yang merupakan sentra budidaya tanaman sayuran dan buah-buahan, biasanya akan menjual komoditas hasil panennya di kios-kios sepanjang jalan Deandles yang merupakan jalur pemudik dari wilayah Jabodetabek. Terjadi penurunan penjualan yang cukup signifikan akibat tidak ada lagi pemudik yang melewati jalur tersebut. Tak jarang mereka harus menjual dengan harga rendah, dari pada dibiarkan membusuk. Bahkan banyak di antara kios-kios tersebut yang sekarang memilih menutup usahanya.
Di Kabupaten Malang, rencana pemberlakuan PSBB oleh Gubernur Jawa Timur, disambut masyarakat petani sayur dengan membagi-bagikan secara gratis sayuran hasil tani mereka seperti sawi, bayam, dan lain-lain kepada masyarakat yang melintas di sepanjang jalan raya Kedungrejo (Jumat, 17/05/ 2020). Sejumlah petani sayur bahkan memilih memarkir sepeda motor sayurnya di atas jembatan dan membuang ikatan-ikatan sayuran itu ke aliran sungai sebagai bentuk kekecewaan mereka.
Langkah kongkret harus segera dilakukan untuk menyelamatkan nasib petani. Tidak semua harus bergantung pada kebijakan pusat. Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada desa, untuk mengalokasikan hingga 20% dana desa yang ada dalam bentuk Bansos Covid-19. Desa bisa melakukan pembelian hasil panen petaninya dengan harga yang wajar untuk kemudian dikembalikan lagi ke warga terdampak melalui program Bansosnya.
Sayuran dan buah-buahan yang sifatnya lebih cepat busuk dapat dibeli oleh BUMDes untuk diolah lebih lanjut menjadi produk yang lebih tahan lama, seperti saus, manisan, dan lain-lain. Akan lebih bagus lagi dalam pengolahannya mengoptimalkan tenaga kerja setempat dengan dikerjakan di rumah masing-masing. Solusi tersebut akan aman karena tetap bisa menjaga jarak, sekaligus dapat menambah penghasilan warga di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi.
Desa juga bisa memfasilitasi untuk pengadaan market center sebagai tempat transaksi jual beli antara petani dengan pedagang yang akan membeli hasil panen. Membantu menyebarkan informasi keberadaannya ke pedagang-pedagang. Tempat tersebut selalu diawasi sehingga tujuan pihak desa dalam upaya mencegah penularan Covid-19 tetap dapat terpenuhi.
Bagaimanapun juga menyelamatkan petani adalah tanggung jawab bersama. Peran petani sangatlah vital dalam penyediaan pangan seluruh bangsa. Dengan indikator rata-rata pengeluaran pangan rumah tangga masih sekitar 50 persen dari total pengeluaran, maka dapat dikatakan pangan adalah penentu hidup-matinya rata-rata rumah tangga Indonesia.
Red-HJ99