Ahwan Fanani
Wakil Ketua ICMI Orwil Jawa Tengah
Pada saat-saat terjadi anomali dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia, kenangan akan ramalan dari masa lalu kembali mengemuka. Jangka atau Primbon Jayabaya sering diacu untuk menyatakan prediksi-prediksi akan kepemimpinan nasional maupun perubahan sosial karena pada dasarnya ramalan Jayabaya mengandung gagasan tentang akhir era sosial dan munculnya Ratu Adil. Namun, ramalan yang secara berantai dinisbatkan kepada Jangka Jayabaya tidak jarang tidak bisa ditemukan dalam berbagai versi Jangka Jayabaya itu sendiri.
Salah satu ramalan yang dinisbatkan pada Jangka Jayabaya adalah suku kata nama-nama presiden Republik Indonesia. Pada tahun 1997-an, Suhardiman memprediksi bahwa akan muncul pergantian kepemimpinan nasional. Ia memprediksi bahwa Pak Harto akan digantikan oleh satrio piningit (ksatria yang masih tersimpan menunggu momen kemunculan).
Ksatria tersebut berciri sebagai tentara, oang Jawa dan beragama muslim. Ksatria itu memiliki nama dengan suku kata sesuai urutan: NoToNaGoRo, yang rangkaian suku kata tersebut membentuk kata dengan arti “menata negara.” Tidak diketahui dengan jelas dari mana gagasan itu berakal, belakangan kata itu dihubungkan dengan Jangka Jayabaya.
Sejak tahun 2019 lalu Jangka Jayabaya kembali naik daun saat terjadi kegaduhan politik nasional. Akhir-akhir ini ada pandangan bahwa salah satu tokoh yang potensial menjadi calon presiden adalah Ratu Adil (Avatar). Ada pula yang menengarai bahwa nama tokoh lain yang layak menjadi calon presiden memenuhi indikasi dalam Jangka Jayabaya.
Namun, sampai saat ini tidak jelas juga apakah Jangka Jayabaya mengandung prediksi demikian. Primbon Jayabaya terbitan Tan Khoen Swie tidak menyinggung kondisi pada era kemerdekaan. Demikian pula berbagai versi Jangka Jayabaya, seperti: Jayabaya Pranitiwakya, Jayabaya Musarar, Jayabaya Pranitiradya, Jayabaya Sabdo Palon, Jayabaya Sech Bakir, maupun beragam Jangka Jayabaya yang termuat dalam Primbon Qoraisyn Adammakna.
Terkadang kearifan lokal kita ini dibangun di atas otak atik gathuk (cocokologi) yang penuh dengan kedalaman mistik. Setidaknya itu yang ditulis Niels Mulder alam karyanya Mistisisme Jawa, saat ia meneliti fenomena ramalan di salah satu kota jantung kebudayaan Jawa. Dengan penuh khusyu ramalan diungkap, namun saat terbukti tidak sesuai sang peramal merevisinya atas dasar salah menafsirkan tanda.
Saat ini masyarakat sendiri sebenarnya juga tidak sepenuhnya mau meyakini ramalan. Apabila ramalan sesuai dengan kehendak hati, maka itu dijadikan pegangan. Sebaliknya, jika ramalan itu tidak sesuai kehendak, maka ramai-ramai orang mengingatkan agar tidak percaya syirik, seperti saat Mbak You meramalkan goro-goro besar pada tahun 2021. Hal itu menunjukkan bahwa ramalan Jayabaya diangkat sebagai bentuk wacana politik.
Sama halnya dengan ungkapan NoToNaGoRo. Pada tahun 1997, kata tersebut tampak meyakinkan. Nama Presiden pertama RI mengandung suku kata No, nama presiden kedua bersuku kata To. Kesimpulannya pasti presiden yang ketiga bersuku kata Na.
Ternyata, ramalan tersebut meleset. Presiden Ketiga RI bernama Bacharuddin Jusuf Habibie, bukan orang Jawa dan namanya tidak mengandung suku kata Na. Presiden keempat RI bernama Abdurrahman Wahid, meskipun orang Jawa, tetapi namanya juga tidak masuk kriteria Na.
Presiden kelima Megawati Soekarnoputri. Namanya mengandung suku kata Na karena mengacu kepada nama ayahnya. Namun, ia tidak memenuhi ciri sebagai laki-laki, seperti perkiraan Suhardiman.
Baru pada Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, nama dengan suku kata No muncul setelah ramalan itu meleset tiga kali.
Nama Presiden ketujuh RI, Joko Widodo, juga tidak cocok dengan urut suku kata selanjutnya Go. Meskipun demikian, ia berhasil menjabat presiden dua periode.
Pertanyaannya apakah Presiden RI kedelapan RI nanti ada yang berinisial Go? Entahlah. Ramalan Jayabaya tidak bilang apa-apa. Akan tetapi, ilmu cocokologi pasti punya cara untuk mencari kesesuaian. Andaikan orang suka dengan Gatot Nurmantyo karena namanya mengandung huruf G dan O, maka ia bisa saja menduga Gatotlah calon presiden RI kedelapan. Namun, jika orang tidak setuju, ia akan bilang huruf G dan O pada nama tersebut tidak membentuk suku kata. Jadi tidak sesuai kata ramalan di atas.
Andaikan nama Presiden RI kedelapan tidak mengandung suku kata Go, bahkan huruf O, orang akan sejenak lupa dengan Jangka Jayabaya dan NoToNaGoRo. Setidaknya sampai Pilpres periode berikutnya.