Ilustrasi Ella menunggu mukjizat
Ilustrasi Ella menunggu mukjizat. Foto JillWellington/Pixabay

Yudhie Haryono

Tentu, aku bahagia mengenal tuan putri. Bunga revolusi yang mencinta Indonesia. Teman berbincang yang sangat baik untuk mentertawakan takdir.

Bermilyar hari memberitahu kita bahwa republik ini bunuh diri. Telah lama kita duduk tertegun. Kagum dan ngungun. Kok bisa begitu banyak agama hidup di sini, tapi penjahat panen tiap detik. Peristiwa anomali. Membuat kita merenungi dan menghayati semua peradaban yang chaos.

Di penghujung senja yang merah menguning. Di penghabisan air wudu di waktu subuh. Yang ada adalah hanya bayang mayat-mayat. Tebarkan keranda. Juga penyakit tak tersembuhkan. Tapi, itu hanya membuat hatiku gelisah resah tak menentu. Buntu.

“Semua pasti sirna kecuali ilmu dan amal,” katamu suatu kali saat kita lempar tai ke istana. Tapi nujummu itu kini tak faktual. Sebab yang abadi kini hanya keculasan dan pengkhianatan.

Sayank. Sudah seratus tahun aku tak percaya pada usaha cerdas, kejeniusan, hantu, hutan, harapan-harapan, cita-cita, mimpi-mimpi, ilusi-ilusi dan perjumpaan-perjumpaan jaringan. Aku juga sudah tak percaya pada nasib baik dan mukjizat. Makanya kucukupkan diriku jadi tukang ketik.

Aku bisa apa sebab noktah ini kini cuma bergurau ceria menunggu kepunahan.

Nusantara;
Kueja nama itu dengan segenap nalarku, cintaku dan jihadku. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala pernama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati. Kusebut nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya kini tak melambai. Sungainya kering kerontang. Cintanya kini tanpa pantai. Apa yang sedang kau hadirkan?

Indonesia;
Apa yang akan kau lakukan kini. Saat semua senyum tinggal keputusasaan. Setelah sayap-sayapku terpatahkan olehmu. Setelah jiwa-ragaku terkhianati olehmu. Setelah air mataku tergerus habis tak bersisa kecuali darah kesunyian. Saat arti sebuah perasaan yang terdalam dan harga diri sebuah pengorbanan tanpa batas menjadi sia-sia belaka. Dicampakkan sendirian. Apa yang sedang kau rasakan?

Kekasihku;
Aku tau kau kurang-ajar. Sebab lakumu batu. Niatmu tipu-tipu. Mentalmu kuntilanak hantu. Persis nusantara dan indonesia terhadapku. Kini aku versus nusantara. Kini aku melawan indonesia. Dan, hanya bisa tersenyum masam. Sambil menghela nafas dalam-dalam. Sebelum semua tenggelam. Oleh pekat malam dan sejarah kelam. Apa yang sedang kau takdirkan? Kasih aku rindu. Serindu-rindunya.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini