Wahyu Nugroho, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta
Wahyu Nugroho, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta

Dr. Wahyu Nugroho, SH., MH.
Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta

Akhir-akhir ini marak diperbincangkan dan menimbulkan pro kontra di antara kalangan publik perihal pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta bergeser ke Kalimantan Timur dengan beragam perspektif dan sudut pandang, baik dari segi historis, sosial budaya, ekonomi, hingga politik anggaran. Namun nyaris sedikit atau tidak ada yang membahasnya dari segi lingkungan hidup, khususnya valuasi lingkungan.

Kajian-kajian persoalan valuasi lingkungan dalam rencana pemerintah melakukan pemindahan ibukota negara perlu dilakukan, di kalangan perguruan tinggi dan memberikan berbagai masukan hasil kajiannya. Pemerintah dapat juga mendengar berbagai aspirasi kelompok sipil yang konsen di bidang lingkungan hidup dan perspektif ekonomi lingkungan hidup, maupun kajian-kajian yang dilakukan didalamnya, baik dari kalangan kelompok sipil maupun perguruan tinggi.

Valuasi lingkungan adalah bagian dari ekonomi lingkungan, yang bertujuan untuk melakukan valuasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam kebijakan publik dan perencanaan sebuah kebijakan, ada input-proses-output. Tentunya tahapan-tahapan inilah yang harus diikuti secara sistematis dan terukur.

Input didapatkan melalui masukan-masukan dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam dunia korporasi, aspek lingkungan lebih dominan sebagai eksternalisasi oleh perusahaan, sehingga tidak mempunyai harga pasar yang berdampak pada biaya produksi perusahaan, sehingga tidak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan sebuah aktivitas ekonomi. Biaya produksi dengan biaya lingkungan hidup seharusnya berimbang, untuk memastikan bahwa pelaku usaha komitmen dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Persoalan valuasi lingkungan hidup tidak hanya dipraktikkan dalam sebuah korporasi, akan tetapi dalam penyelenggaraan negara dan perumusan kebijakan atau agenda setting menjadi sangat penting.

Konstitusi negara kita menganut ‘ekokrasi’, atau sistem pemerintahan atau kedaulatan negara yang mempertimbangkan aspek wawasan lingkungan dan berkelanjutan berdasarkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dalam konteks pembangunan ekonomi negara.

Pemindahan ibukota negara tidak semudah memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain, namun harus melalui serangkaian kajian yang mendalam, khususnya di sektor lingkungan hidup, daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta valuasi lingkungan hidup. Dalam perumusan kebijakan dan agenda setting, tentunya pembuat kebijakan bukan hanya melakukan kajian-kajian ilmiah dan perbandingan negara dalam konteks pemindahan ibukota negara, melainkan juga mempertimbangkan efek-efek negatif yang ditimbulkan dari perencanaan tersebut.

Manusia yang berjubah ‘penguasa’ menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan. Namun perlu diingat, bahwa sebagai negara demokrasi yang baik dan menghormati prinsip-prinsip HAM yang sifatnya kolektif dalam generasi ketiga HAM, tentunya pembangunan dan kebijakan pemindahan ibukota negara haruslah bersifat deliberasi dengan prinsip-prinsip partisipatif dan transparansi.

Peran serta publik dan keterbukaan dalam proses perumusan kebijakan dan pembentukan sebuah Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara benar-benar ditunjukkan oleh publik. Sebuah pembahasan rancangan undang-undang yang terlihat ‘senyap’ dan memperlihatkan ‘kabut tebal’ dalam pembahasannya, sehingga partisipasi dan pendapat publik di dalamnya untuk dipertimbangkan nyaris tak terlihat. Apabila tidak, maka nasibnya akan seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang dibawa oleh kelompok masyarakat ke Mahkamah Konstitusi dan berujung kandas. Pemindahan ibukota negara berdampak sistemik dan kompleks.

Ibu Kota Nusantara
Ibu Kota Nusantara. Foto Instagram @nyoman_nuarsa

Kompleksitas yang bukan hanya faktor manusia dan budaya, melainkan dari aspek ekosistem dan lingkungan hidup. Terlebih, Provinsi Kalimantan Timur sebagian besar kawasan hutan sebagai paru-paru dunia. Apakah kita lupa, komitmen Presiden dalam mengurangi emisi karbon dengan penyumbang terbesar emisi karbon bersumber dari pembakaran hutan dan lahan, termasuk penebangan pohon dalam kawasan hutan. Pemerintah seharusnya melakukan kajian-kajian mendalam dengan para akademisi atau perguruan tinggi dari berbagai sudut pandang, termasuk di sektor lingkungan hidup dan kehutanan maupun valuasi ekonomi lingkungan hidup sebagai kajian untuk pemindahan ibukota negara.

Berapa ribu hektar hutan kemudian disulap menjadi gedung-gedung megah sebagai pusat ibukota dan perkantoran, yang akan diikuti dengan pembangunan berbagai macam proyek infrastruktur dan kawasan perumahan untuk elit pejabat, areal bisnis, dan lain sebagainya, sehingga menggeser sistem tata ruang yang ada.

Perencanaan ibukota negara nyaris tak terlihat dari aspek tata ruang dan perubahan-perubahan dalam kebijakan tata ruang nasional dan tata ruang daerah Provinsi Kalimantan Timur, sehingga bertolak belakang dengan fungsi dan tujuan tata ruang, yaitu untuk memastikan bahwa dilakukan pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai unsur lingkungan hidup di antaranya air, tanah, pohon, hutan, hingga satwa liar terkena dampaknya, seakan air dan tanah menjadi barang komersil atau privat, bukan barang publik yang siapapun punya hak untuk mengaksesnya.

Berbagai unsur lingkungan hidup tersebut tentunya menjadi bahan untuk diperhitungkan dalam sebuah valuasi lingkungan, ada nilai ekonomi lingkungan hidup untuk dipertimbangkan dalam perencanaan ibukota negara. Ketika satu pohon ditebang, maka akan kehilangan manfaat dan kontribusi yang berasal dari pohon tersebut bagi kehidupan ekosistem dan lingkungan hidup.

Permasalahan yang sudah ada pada sebagian besar pulau Kalimantan saat ini adalah konflik-konflik lahan dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya di kawasan hutan. Provinsi Kalimantan Timur sebagai daerah yang direncanakan sebagai ibukota negara baru saat ini penghasil batubara dan sawit dengan ribuan hektar yang berada di dalam kawasan hutan. Dalam setiap tahunnya, berapa ribu hektar terjadi pembalakan liar, penebangan pohon secara legal, maupun pembakaran hutan dan lahan, yang berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan hidup, perubahan bentang alam, berbagai perizinan dalam eksploitasi sumber daya alam dalam kawasan hutan tanpa adanya evaluasi.

Pada akhirnya menimbulkan bencana lingkungan yang ditimbulkan karena berbagai rentetan dari tindakan atau kebijakan sebelumnya pelepasan emisi karbon.

Dalam komitmen (political will) pemerintah yang diharapkan, mampu merealisasikan secara nyata sesuai dengan aspirasi masyarakat secara luas, tanpa ada kepentingan politik dan bisnis yang didesain dalam sebuah kebijakan, atau kata lain the man behind of the gun. Lingkungan hidup sebagai salah satu aspek terpenting dalam desain pembangunan berkelanjutan, akan tetapi dalam pengambilan kebijakan publik, lingkungan seringkali tidak dipertimbangkan dalam kajian-kajian perencanaannya.

Hendaknya pemerintah melakukan kajian ulang dari berbagai sudut pandang dan efek-efek yang ditimbulkan dari pemindahan ibukota negara, tidak terburu-buru untuk kemudian disahkan, dan ada target-target tertentu untuk memindahkan para pegawai ke ibukota baru.

Negara demokrasi yang bercorak deliberasi tidak menghendaki dalam proses perumusan kebijakan publik dilakukan sepihak, tidak transparan, dan tidak partisipatif. Valuasi lingkungan menjadi salah satu sudut pandang untuk dikaji lebih dalam, mendengar masukan maupun kajian-kajian akademik dari para ahli di berbagai perguruan tinggi, apa dampak negatif dan positifnya, apa efek-efek dan implikasi dalam jangka panjangnya. Mudah-mudahan para penguasa di negeri ini benar-benar menjalankan sila keempat dari Pancasila, bahwa penguasa dibekali dengan hikmah dalam setiap pengambilan keputusan, layaknya seorang filsuf yang cinta akan kebijaksanaan.

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here