Betrisiyak, kamu berjanji untuk tidak menghabiskan waktu dan tenaga serta pikiran guna menilai Indonesia dan Pancasila hari ini, juga Jokowi. Stop. Mubazir. Lebih baik kita bersinergi mau apa demi ibu pertiwi. Jokowi itu mimpi buruk. Titik.
Kini, mari kita pastikan bagaimana takdir kejeniusan, mengulurkan persembahan untuk masa depan rakyat banyak. Sebab, Aku jatuh cinta padamu: Indonesiaku. Dalam gemuruh dan riuh.
Tapi kini aku terkapar. Sakit. Sendirian. Tak ada yang peduli. Juga engkau. Walau mulutku merintih. Memanggilmu. Engkau jauh walau dekat. Engkau waras walau gila. Engkau rindu walau takut. Bahkan gigilmu kurasa. Duhai Tuhan yang maha kasih. Ambillah nyawa hamba. Yang sakit karena buta. Tak paham apa-apa. Maka di neraka atau sorga, lebih baik karena tak mengingatnya.
Dari sini kita membutuhkan undang-undang perpolitikan nasional dan undang-undang perekonomian nasional. Undang-undang yang disusun berdasarkan teori hibridasi yang ramah pada logika dan nalar timur-barat plus kearifan lokal. Tapi kita juga butuh kaum muda yang menjalankannya.
Kepada mereka kuucap selamat pagi untuk semua. Selamat liburan. Sambil minum teh hangat dan sarapan nasi pecel plus belut kiriman Pakde Joko, aku ingat pepatah kuno:
“Wahai manusia, sejarah akan menguji kalian dengan kesempitan dan keluasan. Semua orang diuji nalar, bicara beserta karyanya. Dan, hanya sedikit dari kalian yang menyadarinya lalu lulus gemilang.”
Kawan. Menjadi yang sedikit itulah tantangannya. Tapi, percayalah, aku setia dan loyal dalam kebaikan bersama kalian. Bukan bersama Jokowi.
Coba mikir. Kutukupret takut Orde Baru berkuasa kembali. Tapi yang kini berkuasa tak menegakkan hukum agar sisa Orde Baru bisa dihabisi.
Coba mikir. Kalau tak ingin hidup menderita, hilangkan keinginan, harapan dan mimpimu. Ternyata kita gak bisa. Sungguh belum bisa.
Merenungi pancasila. Menghidupi indonesia. Air mata ini menyadarkanku. Bahwa keduanya tak menjadi tabula rasa. Keduanya takkan pernah jadi milikku. Keduanya bersatu untuk saling berpisah. Maka, air mata ini menyadarkanku. Sesadar-sadarnya. Bahwa kalian takkan pernah menjadi milikku.
Tentu saja. Aku tak pernah mengerti mengapa aku segila ini. Memikirkan, merenungi, menghidupi, merindukan. Sampai-sampai aku hidup untukmu, tetapi aku mati tanpamu. Sungguh. Pedih tapi bagaimana lagi.
Sesungguh-sungguhnya aku tak pernah menyadari bahwa aku setolol ini. Setolol-tololnya. Sampai-sampai aku hidup untukmu, tetapi aku mati tanpamu. Aku menunggumu, engkau mengkhianatiku. Aku mengundangmu, engkau tak mempedulikanku. Tak peduli. Tak pernah peduli.(*)
Yudhie Haryono