Kitab Seperti Yang Sudah-Sudah
Kitab Seperti Yang Sudah-Sudah. Foto Pixabay/cocoparisienne

Seperti kisah Musa yang menangis pada lautan sebelum membelah untuk kaumnya. “Jika engkau wahai ciptaan Tuhan menolak revolusi, kepada siapa hamba mohon bantuan dan ditemani. Hidup kita singkat, penjajahan Firaun yang abadi. Bukankah itu yang perlu ditikam mati? Lalu, semua jadi sejarah. Kisah yang bisa kita baca di altar semua agama.

Walau tak serupa, ini seperti suara lirih Kusno kepada Hayati. “Cintamu tak cukup kuat menghadapi yang remeh temeh. Apalagi menghadang gelombang dahsyat di masa depan. Kasihmu tak cukup lebar melawan keculasan-keculasan dunia yang kejam. Apalagi menghadapi musuh yang datang bagai banjir bandang. Kangenmu tak cukup mendunia yang mengantarkan ketentraman khayali di atas bait-bait puisi.” Lalu, aku ngeromet sebel, “Bagaimana kita bisa hasilkan karya yang akan mendapat nobel dan diakui dunia?”

Banjir duka membuatku terjatuh dan terjatuh lagi. Banjir hujan membuatku merasakan yang tak terjadi. Banjir bajingan membuat semua yang terbaik terlewati. Banjir republik blusukan membuat semua terhenti tanpa bisa diakhiri. Bubar jalan, grak!

Seperti yang sudah-sudah, aku bertanya. “Kenapa ayat pertama memerintahkan manusia membaca? Sebab kemiskinan, kebodohan dan kekalahan harus diobati dengan ilmu, bukan iman.” Betapa banyak orang beriman tetap miskin, bodoh dan kalah adalah karena ia tak berilmu. Iman tanpa ilmu adalah kegelapan: miskin, bodoh dan kalah.” Nah, kalau itu digunakan sebagai “analisa” maka akan ketahuan di mana posisi kita. Apakah hanya punya iman, punya ilmu atau punya/tak punya keduanya.

Baca juga: Untuk Kekasih Terdahsyat

Kini. Sejak berjuta jam lalu. Aku menunggumu. Untuk pamit duka musim semi. Sebab, engkau tak mau membaca bukuku. Dan, kita menangis bersama menikmati indonesia. Atau menjadi batu-bata yang tak tahan menahan air mata. Tiga tahun lalu kalian ketik kalimat mantera dusta: revolusi mental dan nawa cita. Di manakah kini itu mantera berada? Aku ketik lagi untuk kita. Agar dijadikan azimat pada saat keramat, sebelum kiyamat.

Di sini, fatwa lama bisa kita ingat sebagai kaca benggala. Mungkin Allah merahasiakan waktu kesuksesan kita, agar hati selalu khawatir dan berdoa. Mungkin Allah tak langsung kabulkan doa dan kerja kita, agar selalu punya harapan dan iman padaNya. Mungkin Allah menjadikan penentu posisi kehidupan kita di akhirat, agar tidak mudah tertipu duniaNya.

Mungkin loh. Wong cuma ngetik kok. Makannya, berapapun pendapatan kita, akan cukup untuk memenuhi kebutuhan. Tapi, berapapun pendapatan kita, akan kurang untuk memenuhi keinginan. Karenanya, hiduplah dengan kebutuhan, bukan keinginan.

Seperti kemarin, kamu menunggu. Sesuatu yang bukan aku. Buat kamu yang memiliki imaji romansa indah, tentunya mencetak buku berdentum adalah mimpi. Di sini, kamu seperti memimpikan sosok yang akan menjadi pendamping berprestasi. Pendamping yang kelak menjadi nabi yang mau serius berjuang mendapatkan cinta dan membuktikannya.

Memang tak mudah mengeksekusi keinginan dan kegiatan jika kita miskin harta dan budi. Walau kita hidup di alam raya yang kaya tapi bekerja di antara konglomerat yang melarat. Sungguh. Ini problema purba yang perlu mukjizat raja. Dan, kita belum tahu di mana ia berada. Sebab yang ada hanya omong dan tukang omong-omong saja.

Itulah yang jadi pertimbangan soal kenapa kamu lebih sering diam dan menunggu. Bukan karena kamu tak mencintai buku. Tetapi, hanya ingin melihat kegigihan kita semua dalam mengetiknya, mempresentasikan dan menyebutnya sebagai permaisuri belaka. Di perpustakaan UI Depok, cinta, buku dan cita-cita bersama ini bermula.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here