Kitab yang tak waras-waras
Kitab yang tak waras-waras. Foto Pixabay/DariuszSankowski

Adakah kita memasuki akhir sejarah? Sebuah akhir dari kemartabatan kemanusiaan. Entah. Hanya Tuhan yang tahu dan punya kuasaNya. Jika dilihat gejalanya, kita memang mesti mengelus dada. KKN makin merajalela. Tak tahu malu mereka merampok, mencopet, mengutil, mencuri dan mengembat duit milik rakyat.

Sejarahnya memang menggiriskan. Saat aku lahir, jajaran menterinya banyak alumni UI, HMI plus TNI dkk. Saat aku kuliah, banyak menterinya alumni ui, hmi plus TNI dkk. Saat aku mati, banyak menterinya alumni UI, HMI plus TNI dkk. Triple i (3i). Tetapi, anak-anakku mewarisi negeri yang rusak lingkungan, utang negara yang menggunung, KKN yang merajalela, kemiskinan dan ketimpangan yang makin menggurita.

Kita pantas bertanya. Apa ilmu mereka? Apa kurikulumnya? Mental mereka apa? Kok busuk nian warisan dan cara bernegara kita. Kok tidak ada pertobatan nasional. Kok diulang-ulang tanpa rasa bersalah. Lihatlah, indeks korupsi, penuhnya penjara dan penangkapan-penangkapan serta drama KKN yang terus tumbuh.

Tuhan. Saat engkau diam, duniaku rentan. Tertatih. Letih. Hidup keruh; mati tak penuh. Jiwamu ajarkan kesunyian. Sujudmu ajari keseriusan. Antara kesunyian dan keseriusan, kini aku hidup bersama kangen dalam kasih yang mendebarkan.

Tuhan, engkau pasti bosan ajari kami keikhlasan. Apalagi. Pada dasarnya, kita menghabiskan waktu bersama-sama di semesta. Tetapi, memilih sendiri dan serakah sehingga dunia ada yang berubah: makin rusak dan terasing. Sesungguhnya, kita punya tantangan yang sama setiap generasi: memproduksi kebaikan. Tetapi itu sering jadi ilusi. Mengapa? Sebab kita defisit buku, surplus tipu-tipu.

Aku. Tukang ketik adalah orang yang tak ceria. Pemintal semesta. Sedikit teman, minus penolong. Karena itu, betapapun tinggi prestasinya, ia tetap dibanjiri air mata. Ia punya takdir kegembiraan dan kepedihan. Ia punya sejarah ketakjuban dan keberpihakan. Selebihnya, ia menari di antara mayat hidup yang bangga dengan prestasi utang negaranya dan kedunguan pemimpinnya.

Mestinya, dalam negara pancasila, ketergantungan (utang), ketimpangan dan kemiskinan berbanding lurus dengan konstitusi. Jika konstitusional kita dahsyat karena direalitaskan dalam kebijakan publik, maka kemiskinan akan habis. Begitu juga sebaliknya!

Artinya, jika kemiskinan makin berkecambah maka kita pasti makin mengkhianatinya. Mosok cuma itu prestasinya. Padahal, kemiskinan itu buta dan membutakan. Karena itu janganlah membangun etika politik kemiskinan sebab kemiskinan adalah epistimologi politik kejahiliyahan. Dikutuk semua zaman. Ditikam semua agama. Diharamkan semua generasi.

Karena itu, baik pada tingkat gagasan maupun praksis kekuatan rakyat miskin di hari-hari terakhir ini sedang berjalan memasuki lorong-lorong politik yang licin dan penuh jebakan.

Dari pemilu ke pemilu drama kemiskinan dan KKN sebagai sebab, terulang tanpa bisa dielakkan, tanpa bisa menghindari dahsyat godaan dan kutukan kekuasaan.

Dari rezim ke rezim pertarungan atas nama idealisme berputar tanpa skenario baru dan tanpa pemain debutan yang brilian sekaligus tanpa kejayaan yang elegan.

Para aktor dan aktifis yang sebelum berkuasa begitu konsisten, tiba-tiba menjadi selebriti politik yang berkhianat. Mereka tergoda ikut merebut posisi kismin dan yang diperebutkan sebenarnya cuma tulang. Mereka berpolitik dan mencemplungkan diri dalam dunia yang penuh manuver pinggiran.

Kini kita perlu menggali kembali ide dan wawasan bagaimana posisi dan ide kewargaan unggul dan apa perannya agar tak berulang. Pertama, kita perlu makna baru dan bagaimana posisi idealnya. Kedua, kita perlu mempertanyakan secara kritis peran mereka. Ketiga, kita perlu menawarkan reposisi makna dan fungsi negara-bangsa di masa kini dan selanjutnya.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini