Membatu. Kupingmu tak lagi jernih. Padahal, aku sudah berujar. Pada angka-angka. Juga senja. Bisikku lirih, “we may less of logistics but not loss our logics.” Yah, batu-batu ini kuketik ulang lebih dalam, agar engkau ini tidak mewariskan bumi yang rusak buat generasi penerus dan tidak mewariskan generasi penerus yang jahat buat bumi.
Agar engkau tidak berkuasa tanpa tahu sejarah bangsamu sehingga tak mengerti nasib masa depannya. Sebab, seumpama ide, negeri kita adalah gagasan yang paling rumit untuk dipahami. Seumpama ketinggian, bangsa kita adalah gunung yang sulit sekali didaki. Hanya beberapa yang mampu. Dan, itu bukan kamu. Bukan.
Membatu. Matamu tak lagi tajam. Sesudah badminton aku melihat rembulan. Mengingat apa yang telah pergi lalu menyanyi. Purnama ini begitu syahdu, sunyi, senyap dan merinding. Begitu jika malam gulita tanpa lampu dan rembulan. Taukah kau bahwa kursi kekuasaan itu perlu dipastikan untuk “kepentingan baik dan didasari motif arif?” Tanpa itu, jejak narasinya hanya apologia. Mimpi kaum dungu.
Lalu terlelap di antara kutu dan buku, engkau bersujud. Tapi itu hanya memastikan dirimu jadi begundal. Kerjanya melamun dan menipu. Engkau memang hantu berhati salju. Jaring rindumu bau sampah dan membuat muntah. Walau engkau berkuasa dan mengaku sarjana.
Membatu. Hidungmu tak lagi jenius. Inilah lagunya. Tentang lelaki dan rembulan. Yang hampir mati. Rembulan di malam hari. Lelaki diam seribu kata. Hanya memandang. Hatinya luka. Jiwanya luka. Jasadnya luka. Udara terasa berat. Karena asmara sesakkan dada. Ketika cinta terbentur dinding. Terbentur norma. Bukalah hatiku hatimu yang selalu membeku. Agar kulihat lagi. Rembulan di wajahmu. Jangan sembunyikan hatimu padaku. Lelaki dan rembulan. Bersatu di malam. Angin sepoi-sepoi.
Seumpama malam, engkau diliputi hujan deras dan badai salju. Sulit ditemui dan dinikmati. Senyummu mahal dan buku-bukuku tak mampu membuatmu ikhlas bertemu. Seumpama mata kuliah, engkau mirip kos tangen dan perkalian kimia. Sulit dicerna otak biasa seperti aku. Terlebih, aku bukan siapa-siapa.
Sedangkan engkau adalah cahaya. Yang dieja penuh rindu redam bak pualam. Yang dipahat di ujung senja kehidupan. Yang ditulis oleh tangan cahaya penuh gelora. Yang diletakkan pada malam penuh cahaya. Engkau adalah kebahagian yang bergetar. Yang menunjukkan sisa umur untuk diperjuangkan. Yang menjadi alarm bagi kemustahilan. Yang mempersiapkan peperangan: antara kesepian dan kesiapan.
Engkau adalah satu-satunya kebebasan di atas dunia. Yang mengangkat jiwaku begitu tinggi sampai hampir mati. Yang menerabas hukum-hukum manusia sampai langit purnama. Yang mengubah khayalan menjadi kenyataan alam. Yang mendayagunakan arahnya untuk merintangi seluruh keluh kesah agar tak datang dan berulang.
Engkau membunuhku sebelum matiku. Engkau menghidupkanku sebelum terjagaku. Yang senyummu adalah kerendahan derajat diri tak menentu. Di alfa omega dalam nestapa kerevolusian kini.
Membatu. Tanganmu tak lagi kokoh. Di kotamu. Aku makin bimbang dan putus asa. Terutama setelah ngobrolin cara merealisasikan pancasila. Seumpama ide, pancasila bagiku adalah gagasan yang paling rumit untuk dipahami. Hanya segelintir yang komit praktek. Seumpama ketinggian, pancasila adalah gunung yang sulit sekali didaki. Hanya beberapa yang mampu. Dan, itu bukan kamu. Bukan.
Para pewarisnya bisa berkuasa tapi tidak tahu sejarah bangsa ini dan tak mengerti nasib masa depannya. Inilah nasib kita. Karenanya, aku merindukanmu sambil memerlukan kecerdasan melimpah untuk memahami kompleksitas pancasila. Kita memerlukan pengetahuan mendalam untuk memetakan para pengkhianatnya. Kita juga memerlukan kejeniusan sistemik untuk memahami kebrutalan neoliberalisme yang melumpuhkannya.
Merongos. Tak jelas. Padahal, tanpa kecerdasan yang melimpah; pengetahuan terdalam dan kejeniusan yang sistemik, kita semua jadi korban pertamanya: menjadi miskin dan sujud ritual ilusif serta terbangun saat tangan dan kaki terbergol kemiskinan dan ketimpangan akut.(*)