Banjir datang tanpa diundang, berulang-ulang. Dan, kita masih berdebat hal-hal busuk yang membuat kantuk. Padahal jelas, pada pemimpin goblok terdapat kebijakan jeblok. Maka, kita olok-olokpun, otak, pidato dan ucapannya makin berkelok-kelok.
Ini kisah kalian. Manusia dan para penyembahnya. Mereka menyembah batu, gunung, pohon, hewan, dan manusia sesama bukan karena bodoh tapi karena yakin bahwa yang disembah itu mampu memberikan perubahan nasib secara signifikan. Padahal menyembah 01 ataupun 02 ya nasib penyembahnya tak jauh berbeda alias sami mawon: miskin, paria, kebanjiran dan kelaparan. Singkatnya dikejar-kejar utang dan tagihan.
Tapi bagi penyembahnya seperti pendeta Puji Karyanto dan profesor Deni Siregar, tentu tidak. Sesembahan itu dependen dan faktor X yang harus hadir demi memperteguh kejahiliyahan-kejahiliyahan baru. Inilah takdir republik got. Pada tikus berkerumun, lahir pemimpin tikus mengutil sana-sini sangat rakus.
Kepada 01 dan 02 yang bacin. Bukan berarti aku tak percaya bahwa kalian penguasa. Tapi perihku di masa lalu belum juga hilang setelah menggusur rezim pelenyap nyawa sesama. Dan, kutahu kalian bukan siapa-siapa saat itu. Tak ada jasanya. Hanya tukang serut, pendendam, tukang kibul yang dipertontonkan jadi raja. Tak paham pancasila; bahkan mengkhianati Indonesia. Memenangkan kader pekaie yang jelita. Menabur racun di mana saja.
Kubernyanyi kini. Derita di mataku; derita dalam jiwaku
kenapa tak semesta pedulikan. Kecuali dikirim bencana dan banjir di mana saja. Gunung meletus kapan saja. Serta tsunami kadang-kadang melenggang tanpa bisa dihadang.
Maka, sejarah pengkhianatan adalah sejarah bangsaku, negeriku, pemerintahanku dan kawan-kawan aktifis yang lucu plus wagu. Perih lambung dan dejavu. Ranum di antara begundal dan pecinta yang amoral. Pilu. Sangat pilu. Melihat biak penjilat dan penjahat saat jadi pejabat.
Maka, betapa perih menjadi tua di Indonesia karena memiliki kaum tua yang makin dengki dan tak menyadari bahwa semua akan mati. Kini, agama tanpa pertobatan menjadi kembang kehidupan yang milenial di Indonesia. Kini, ideologi tanpa perlindungan menjadi sinetron yang viral di kita.
Ada orang bingung karena banyak rizki. Banyak orang stress karena seret rizki. Juga betapa banyak pejabat bingung sampai dipenjara. Sementara Aku cukup bersyukur mendapatkan rizki berupa senyum kekasihku yang maniz berkubis-kubis. Kekasih yang menguatkan sekaligus menemani.
Maka, saat pasangan kekasih seperti mukjizat, alam kematiannya seperti kehilangan separuh nyawa. Aku pernah mengalaminya. Dan, butuh bermilyar lembar untuk membuat kisahnya agar kesepian dan kepapaan sedikit sirna. Salah satu cara bergembira kembali adalah mengolok-olok para pemuja kursi dan penjilat kuasa. Mereka yang lupa dan menjumlah muka tai di sepanjang tragedi. Bagaimana tidak?
24 tahun reformasi, musuh utama kita masih sama: KKN. Pemain utamanya masih sama juga: koalisi pengusaha-busuk, politisi-busuk dan serdadu-busuk (oligarki). Tapi ketiganya kini beranak pinak minum kopi dan arak di istana. Pamer lendir dan liur yang menjulur-julur.
Maka, menikmati hujan berhari-hari ini sekaligus menutup cerbung yang asal kuketik buat kalian, izinkan kumuat lagi pesan kekasihku padaku. Kini, moral panic merupakan respon irasional atas sebuah fenomena sosial. Menurut Kenneth Thompson dan William, moral panic adalah produk dari ketakutan irasional middle class terhadap bayang-bayang kekuatan massa orang miskin (imagined working-class ‘mob’). Di Inggris, Moral panic dinilai Thompson sebagai “crisis of capitalism.” Betulkah begitu, kita nikmati saja kisahnya.
Moral panic sedang terjadi di Jakarta dan di beberapa kota besar karena ada kepentingan tersembunyi dalam duel antara capitalis vs proletar; the rich vs the poor; penguasa gila vs rakyat waras; kebatilan vs kebajikan, asing serakah vs pribumi cerdas. Siapa yang menang? Untuk sementara kalah semua oleh alam raya yang marah.(*)