Surat cinta
Surat cinta. Foto Pixabay/StephGablerphoto

Engkau mengirim tangis. Seperti kiriman banjir bandang. Seperti bergulung-gulung. Bak ombak menggunung. Ya. Bertrilyun kubik sampai rindumu telah membakar jiwaku. Tak ada manusia seharum aroma tubuhmu. Tak ada peri semoral jiwamu. Mentalmu kuat. Sopan santunmu tak cukup seribu buku untuk mengisahkannya. Semuanya menyumbat kepala dan pikiranku. Penuh seluruh.

Saat engkau marah. Di bumi yang berputar menjadi neraka. Menghempaskan trilyunan nyawa. Semua menjadi pintu plus jendela. Dan, porak poranda setelahnya. Ndilalah. Pasti ada gejolak yang tidak tak terkatakan. Tak kerasa untuk diucapkan.

Engkau adalah ketika aku menitikkan air mata tetapi engkau membalasnya dengan tuba. Engkau adalah ketika aku mencintainya tetapi engkau tak peduli lagi pada dunia. Engkau adalah ketika aku tidak mempedulikanmu tetapi engkau masih menunggu orang lain dengan setia.

Tetapi, kata ibuku: ikuti saja iramanya. Nikmati kampanye dan blusukannya. Isi dengan rasa. Hadirkan dengan nalar kekangenan saja. Seolah-olah, ia sempurna. Ia yang dikirim alam raya untuk menyempurnakan bhineka.

Kasih. Di puncak derita ini, izinkan aku menasehati kita berdua. Manusia selalu dihadapkan dengan problema berat untuk menaikkan posisinya di mata para kompetitornya.

Kasih. Jangan hidup seperti ikan yang menertawa air; jangan jadi kodok yang menjilati nuklir. Perbuatan itu seperti mendung yang mengusir bulir padi dan kecoa yang tak mencuri sperma. Bahkan tuhan hantu dan hutan dibuat terpana. Jangan engkau rakus yang menelan air laut untuk mengusir dahaga. Tanpa nalar. Tuna agama. Jangan sok relijius seperti kaum onta.

Kasih. Tak ada jalan menuju kebersahajaan. Sebab, kebersahajaan adalah “jalan itu sendiri.” Kebersahajaan kita hari ini adalah modal sahaja masa depan. Jika tak bersahaja saat berkuasa, bencanalah akibatnya. Elite yang ditangkap KPK adalah contoh terbaiknya. Mereka tanpa sahaja dan tak bermoralitas plus tak berotoritas.

Kita bukan mereka. Sebab kangen rindu dan cinta kita adalah untuk Indonesia yang pancasila. Kukirim balik bergudang-gudang darah dan air mata agar habis dan timbullah ceria bin bahagia. Lemah lembut. Sopan dan martabat. Sentausa.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here