Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 yang mengatur penggunaan Toa di masjid dan mushola menjadi polemik panjang. Polemik tersebut dipicu satu wawancara dengan Kemenag yang dianggap membandingkan azan dengan gonggongan anjing. Perbandingan tersebut dianggap tidak patut, sama seperti daerah sepi tempat IKN disebut sebagai tempat buang anak.
Namun, pesan yang ingin disampaikan boleh jadi tidak demikian. Persoalan suara keras di komunitas yang plural kadang menjadi faktor ketidaknyamanan bagi anggota masyarakatnya. Di luar negeri (Eropa), kasus gonggongan anjing menjadi contoh yang melahirkan ketidaknyamanan bagi tetangga yang tidak menyukai suara gonggongan anjing.
Di Indonesia, Toa masjid adalah bagian dari sarana syiar. Orang tahu waktu shalat dari azan via Toa. Coba bayangkan jika azan diam-diam di dalam masjid. Pun musafir atau orang lingkungan tidak tahun kapan iqamat dikumandangkan.
Dengan Toa, suara indah anak TPQ mengaji membuat suasana lingkungan lebih Islami. Dengan Toa, orang yang lupa mengaji bisa mendengar suara mengaji yang boleh jadi memantiknya untuk menyentuh kembali Alquran.
Sudah barang tentu Toa juga ada eksesnya bagi nonmuslim, juga bagi muslim sendiri. Bagi nonmuslim sulit kita asumsikan mereka suka dengan nada azan, kecuali dalam kasus tertentu. Sama halnya dengan muslim mungkin tidak nyaman pula andai ada paduan suara gereja disiarkan keras via Toa setiap hari dalam durasi yang cukup panjang.
Beberapa kasus terjadi warga nonmuslim terganggu dengan Toa, lalu ia protes ke masjid. Namun ia disambut dengan kemarahan dan dianggap melecehkan agama.
Niat dia bukan demikan, boleh jadi. Mungkin karena capek kerja yang memeras otak, lalu ia ingin pulang istirahat. Di rumah yang padat penduduk, tentu tidak mudah baginya untuk istirahat saat mendengar suara keras dari masjid karena tidak mungkin ia menghindarkan diri bersembunyi.
Belum lagi jika ia sedang sakit. Namun tidak mudah baginya untuk meminta pengertian karena permintaan itu bisa dipahami sebagai pelecehan agama.
Ada satu kasus nonmuslim membeli rumah di perumahan, tepat di depan tanah kosong untuk fasilitas umum. Namun saat kemudian fasum itu akan dipergunakan untuk masjid, maka ia jual kembali rumah tersebut.
Muslim sendiri juga beragam, ada yang kesadaran agama tinggi dan ada yang belum. Bagi yang kesadaran tinggi, beragam suara syiar di masjid bisa diterima dan bahkan menimbulkan rasa nyaman. Namun, bagi yang masih awam, ia bisa jadi juga punya pekerjaan yang melelahkan di kantor. Jika hanya azan dan pengantar shalat atau sesekali peringatan hari besar Islam ia terima.
Namun ada kalanya kegiatan ber-Toa itu ada yang dilakukan malam hari di atas jam 21.00. Atau yang durasinya panjang dan silih berganti, baik dalam satu masjid atau antar masjid.
Dengan maraknya syiar Islam, ada banyak masjid di lingkungan kita. Dahulu kala, masjid Jami hanya boleh ada di jarak yang tidak dijangkau oleh suara masjid lain. Jumatan di dua masjid yang suaranya masih terdengar di antara keduanya, maka salah satunya tidak sah shalat Jumatnya.
Namun dengan pelonggaran syarat pelaksanaan shalat Jumat, maka dalam satu perumahan bisa ada dua atau tiga masjid, belum lagi di perumahan tetangga atau di kampung.
Pengalaman, dari satu rumah ada 6 Toa masjid yang terdengar. Bisa dibayangkan jika secara maraton, setelah ashar ada kegiatan ibu-iu ber-Toa keras di satu masjid, disambung azan hingga shalat, dilanjut kegiatan Bapak-Bapak di masjid lain, disambung azan hingga shalat isya, lalu disambung kegiatan di masjid lain sampai jam 21.00.
Tidak setiap hari orang pikiran dan fisiknya sedang fit dan siap menangkap nada tinggi dengan durasi panjang. Ada orang berpenyakit jantung, ada bayi yang hendak tidur dan ada orang kalut karena tugas bawaan dari kantor yang menuntut konsentrasi pikiran.
Itulah mengapa pengaturan Toa itu hal yang wajar. Negara memang tidak boleh intervensi dalam subtansia ajaran agama. Tapi negara berkewajiban mengatur agar pelaksanaan agama tidak melanggar ketertiban dan hak orang yang tidak berpandangan sama. Jika ada orang suka suara Toa yang keras, di saat yang sama ada juga yang merasa kurang berkenan karena berbagai alasan. Tidak bisa semua dipaksa senang karena menurut kita menyenangkan. Justru karena ada perbedaan sikap itulah, pengaturan menjadi penting.