Pulang ke kotamu sambut Indonesia Baru
Pulang ke kotamu sambut Indonesia Baru. Foto Instagram @arif.rohman23

Banyak orang mengarungi malam minggu dengan keluarga. Jutaan manusia menikmati sisa akhir pekan dengan minum tequila. Sedangkan Aku membaca malam panjang ini dengan naik kreta. Ya kreta Purwojaya yang kaku dan dingin luar biyasa. Menuju kota dan kampus tercinta: Univ Muhammadiyah Purwokerto (UMP).

Aku jalan. Menemui kalian yang membunuh waktu mengumpulkan recehan demi keluh kesah keluarga: kalian para guru. Pahlawan tanpa tanda jasa. Maka, pulang ke kotamu adalah pulang pada kebisuan dan kepedihan. Sebab di situ dulu aku mengenal romansa pertama. Lelaki kecil menantang hidup. Tapi berakhir nista karena perempuannya memilih ksatria baja rupiah.

Dalam kebisuan keadilan dan kepedihan tiada tara, tangan berayun, tuhan dicerca, hantu diperkosa. Takdir akhirnya membuatku menjajah Ponorogo, Jogja, Kediri, Semarang dan Jakarta. Maka, pulang ke kotamu adalah pulang pada kejahiliyahan yang kuingin pecahkan. Sebab di situ Tan Malaka dan Soedirman mendeklarasikan Persatuan Perjuangan. Organ nalar penguat makna merdeka. Ya merdeka 100%.

Bukan seperti hari ini: merdeka-merdekaan.

Dalam kejahiliyahan yang ingin kupecahkan, inilah kota yang nanti menyambut Indonesia Baru lebih dahsyat dan gempita. Sebab janji proklamasi akan kutunaikan secepatnya. Dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Walau begitu, aku tak tahu apakah kemerdekaan baru itu bermakna atau tidak bagimu. Sebab engkau kutahu sering tersesat daripada tercerahkan dalam sisa hidupmu. Seperti rumpun padi di belakang kampus, berpuluh milyar tahun lalu. Ini roman picisan.

Kepada kalian yang pernah menyesal karena nafsu dunia, teruslah bernyanyi. Siapa tahu tuhan hantu dan hutan tak lagi bisu tuli dan buta.

Di kreta ini aku nyanyikan tentang Kau dan Aku. Lagunya Ari Lasso yang syahdu:

Tiba saatnya kita saling bicara/Tentang perasaan yg kian menyiksa/Tentang rindu yang menggebu/Tentang cinta yang tak terungkap

Sudah terlalu lama kita berdiam/Tenggelam dalam gelisah yang tak teredam/Memenuhi mimpi-mimpi malam kita/

Duhai cintaku, sayangku, lepaskanlah/Perasaanmu, rindumu, seluruh cintamu/Dan kini hanya ada aku dan dirimu/Sesaat di keabadian/

Jika sang waktu bisa kita hentikan/Dan segala mimpi-mimpi jadi kenyataan/Meleburkan semua batas/Antara kau dan aku, kita/

Menunggu dan antri mati. Inilah kisah manusia. Kisahku juga. Saat gigi hilang satu-satu. Saat uban makin meruyak memenuhi kepala. Saat umur terus merangkak. Saat datang generasi baru. Saat mata makin kabur. Saat tenaga makin rapuh. Saat hidup tak mungkin selamanya. Inilah yang sedang terjadi.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here