Oleh Akhmad Idris, Dosen Bahasa Indonesia di STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya, penulis buku ‘Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia’
Satu di antara tolok ukur kemajuan bangsa adalah potret pendidikan masyarakatnya. Tak heran jika seluruh negara di pelosok dunia memiliki anggaran dan program-program khusus dalam sektor pendidikan. Pada dasarnya, setiap warga negara memiliki tanggung jawab moral untuk peduli terhadap masa depan pendidikan negaranya.
Terlebih bagi pihak yang memiliki kompetensi sekaligus kuasa untuk membuat program-program yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Hal ini telah ditunjukkan oleh Anies Baswedan lewat program Paramadina Fellowship, gerakan Indonesia Mengajar, dan program Indonesia Menyala.
Peduli dengan Pendidikan Anak Indonesia
Ketika menjabat sebagai rektor di Universitas Paramadina dengan usia yang relatif masih muda (kala itu masih 38 tahun) pada tahun 2007, Anies Baswedan menginisiasi program Paramadina Fellowship. Sebuah program semacam beasiswa kuliah gratis di Universitas Paramadina untuk anak-anak terbaik di seluruh pelosok negeri.
Hal ini menjadi wujud keberhasilan interpretasi Anies dalam memaknai usaha pemerintah yang ingin mencerdaskan masyarakat Indonesia. Terkadang masalah utama beberapa anak Indonesia dalam bidang pendidikan bukan karena keengganan, tetapi gegara ketiadaan biaya yang kerap kali membuat mimpi-mimpi terpaksa tertahan.
Oleh sebab itu, program kuliah gratis di UniversitasP aramadina yang dicetuskan Anies pada tahun 2007 menjadi sebuah gagasan solutif atas masalah ekonomi yang masih menjadi penghambat pendidikan anak-anak Indonesia.
Tak puas dengan konsep ‘menyediakan’ di Universitas Paramadina, tiga tahun setelahnya Anies mendirikan program baru dengan konsep ‘mengirimkan’. Program itu bernama Gerakan Indonesia Mengajar. Jika Paramadina Fellowship menerima anak-anak terbaik nusantara, maka Indonesia Mengajar mengirimkan pengajar-pengajar muda terbaik nusantara ke Sekolah-Sekolah Dasar terpencil di seluruh penjuru nusantara.
Tidak semua wilayah di nusantara memiliki pengajar-pengajar yang sesuai dengan standar kompetensi, sehingga program Indonesia Mengajar diharapkan berhasil mengisi bagian yang ‘rumpang’ tersebut. Awal mula ide Indonesia Mengajar adalah kegelisahan Anies terhadap ketakmerataan pendidikan di Indonesia. Bermula dari kegelisahan inilah, Anies mendirikan Gerakan Indonesia Mengajar sebagai resep untuk melunasi janji kemerdekaan.
Indonesia Menyala dengan Membaca
Selain dalam proses belajar mengajar, keberhasilan pendidikan juga ditentukan oleh minat baca masyarakat. Sayangnya, minat baca tidak didukung dengan ketersediaan bahan-bahan bacaan yang merata keseluruh pelosok negeri. Mengamati kontradiksi ini, Anies menggagas program Indonesia Menyala pada tahun 2011.
Indonesia Menyala adalah gerakan penggalangan buku yang digunakan untuk membentuk perpustakaan di daerah-daerah. Perpustakaan yang dinamai Perpustakaan Indonesia Menyala ini berlokasi di tempat para pengajar muda mengajarkan ilmunya. Jumlah total lokasi perpustakaan kurang lebih sekitar 140 Sekolah Dasar di 16 Kabupaten yang meliputi Kabupaten Paser di Kalimantan Timur, Kabupaten Bengkalis di Riau, Kabupaten Rote Ndau di Nusa Tenggara Timur, dan beberapa kabupaten lainnya.
Perpustakaan Indonesia Menyala memiliki dua wujud, yakni perpustakaan tetap dan perpustakaan berputar. Perpustakaan tetap sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, sedangkan perpustakaan berputar berbentuk sebuah tas yang dibawa ke mana-mana oleh para pengajar muda yang dapat berpindah-pindah tangan ke pengajar muda yang lain dalam durasi waktu tertentu. Sesuai dengan namanya (Indonesia Menyala), perpustakaan ini diharapkan negara Indonesia memiliki cahaya yang terang benderang sebab nyala ilmu pengetahuan dari bahan-bahan bacaan bermutu di seluruh pelosok negeri.
Sumber Referensi
Diolah dari buku 10 Tokoh Transformatif Indonesia karya Dr. Gun GunHeryanto, M. Si dan Dr. Iding Rosyidin, M. Si yang diterbitkan oleh Penerbit Erlangga pada tahun 2015.