Oleh Yudha Hari Wardhana – Relawan Rumah Baca 3 Mev Surabaya
Sebagai eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan pastinya mengetahui data-data ilmiah yang mengindikasikan illiterate-nya bangsa Indonesia.
Di satu sisi memang terjadi penurunan jumlah penduduk buta aksara dari tahun 2019 ke tahun 2020. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020 ada 2.961.060 orang buta aksara sedangkan tahun 2019 ada 3.081.136 orang.
Namun tidak bisa dinafikan juga bahwa bangsa Indonesia mengalami kondisi darurat literasi. Kalau menggunakan istilah Taufik Ismail, Indonesia mengalami “rabun membaca dan pincang menulis”. Seberapa parahkah?
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dengan rasio 1:1.000. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya ada satu orang yang suka membaca.
Data menyedihkan juga dirilis oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016. Melalui riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked soal minat baca, Indonesia dinyatakan berada pada ranking 60 dari 61 negara, satu tingkat di bawah Thailand dan di atas Botswana. Ironisnya, dari segi infrastruktur pendukung pembudayaan membaca, Indonesia disebut lebih baik daripada negara-negara Eropa.
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia juga ditunjukkan oleh hasil riset Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Balitbang, Kemendikbud, tahun 2018. Menurut riset tersebut, Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca bangsa Indonesia tergolong rendah. Dalam skala 0-100, indeks Alibaca Nasional hanya memperoleh skor 37,32 yang tersusun dari empat dimensi.
Apabila dilihat per dimensi, dimensi kecakapan tergolong tinggi yaitu 75,92. Dimensi yang paling rendah ialah dimensi akses di poin 23,09 dan selanjutnya dimensi budaya 28,50. Dimensi alternatif cukup menjanjikan, yaitu 40,49 karena masifnya penetrasi internet dan gawai.
Dari indeks tersebut bisa dimunculkan persepsi bahwa tingginya kemampuan membaca masyarakat Indonesia tidak diikuti dengan minat untuk menjadikan aktivitas membaca sebagai habits ataupun budaya. Membaca masih dipandang sebagai aktivitas suka-suka, bukan kebutuhan apalagi kewajiban harian.
Akses masyarakat terhadap sumber-sumber bacaan maupun tempat-tempat seperti toko buku dan perpustakaan juga sangat minim. Masyarakat lebih memilih mengakses bacaan-bacaan secara digital.
Kondisi tersebut sangat jauh berbeda jika dikomparasikan dengan negara-negara yang tinggi budaya lirerasinya. Di Tiongkok, para pemulung dan tuna wisma pun aktif ke perpustakaan tiap harinya untuk membaca berita di surat kabar. Di Rusia dan juga Jepang, masyarakatnya lebih memilih untuk membaca buku daripada mengakses media sosial saat mereka berada di kereta maupun ruang-ruang publik.
Sebagai seorang intelektual berwawasan nasional dan global, Anies semestinya paham bahwa bangkitnya budaya literasi selalu mengawali kemajuan sebuah bangsa sehingga bisa mempengaruhi peradaban dunia. Kebangkitan nasional yang mengubah arah dan strategi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajah juga tidak terlepas dari bangkitnya budaya literasi pasca penerapan Politik Etis.
Memang tanggung jawab untuk merekonstruksi peradaban bangsa berbasis budaya literasi tidak bisa digantungkan kepada seorang pemimpin dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Namun di negeri yang masyarakatnya masih patronistik, kehadiran calon pemimpin cerdas diharapkan bisa menjadi teladan bagi ratusan juta rakyatnya untuk membudayakan literasi. Bukan sekadar melahirkan generasi bisa membaca namun merasa wajib membaca, mempunyai kemampuan menganalisis masalah dan melahirkan gagasan dalam bentuk tulisan. Itulah esensi generasi literate.
Bila budaya tersebut bisa terus diwariskan kepada antar generasi, niscaya Indonesia akan bisa menjadi subyek dalam kompetisi peradaban global. Sanggupkah Anies Baswedan menjawab ekspektasi tersebut atau hanya akan menjadi pemimpin yang melahirkan pendengung-pendengung gagap literasi di era digitalisasi media?