Ilustrasi kebersamaan dan gotong royong
Ilustrasi kebersamaan dan gotong royong. Foto Pixabay/Geralt

Ekonomi konstitusi itu intinya koperasi yg memenuhi kebutuhan dasar manusia (pangan, pakaian, rumah, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan) tetapi juga ramah dengan perbankan, tersedianya dana pensiun, sehatnya asuransi kehidupan; kesehatan, pendidikan, asset, juga distric obligation, plus re-insurance fund yang tata kelolanya dari, oleh dan untuk semua anggota. Visinya gotong-royong. Misinya berbagi kebahagiaan dan keselamatan bersama.

Karena itu, ekonomi konstitusi merealisasikan kegiatan produksi guna menghasilkan nilai guna (use-value), moral dan keberlanjutan kemanusiaan-alam raya dan spiritual. Ekonomi neoliberal merealisasikan kegiatan guna menghasilkan nilai tukar (exchange-value), netral-profanitas dan keserakahan non sustainibilitas.

Dalam ekopol konstitusi, kita harus cerahkan hidup dengan pikiran jenius karena ia akan menjadi perkataan. Tuliskan perkataan karena ia akan menjadi tindakan. Dentumkan tindakan karena ia akan menjadi kebiasaan. Kemanusiaan kebiasaan karena ia akan membawa kita pada takdir kehidupan. Satu kehidupan individu, masyarakat dan bernegara yang adil, makmur dan martabatif. Itulah nilai-nilai Pancasila. Satu pola yg merdeka, mandiri, modern dan manusiawi.

Itulah arsitektur ekopol Pancasila. Soal kini ekonomi Indonesia jadi neoliberal yang dikendalikan para begundal, itu soal lain.

Maka, kuingin mengingat koperasi dan ekopol konstitusi seperti mendengar dentuman, pikiran raksasa, khayalan kosmik dan kerja 1000 abad. Kerja raksasa ini kita mulai dari jauh pelacakan koperasi di seluruh penjuru negeri. Di antara satu kafe ke kafe lainnya: sekolah satu ke sekolah lainnya: NGO satu ke NGO lainnya. Tak kita temukan dirinya. Kecuali di dalam wangi gotong-royong kecil-kecil yang hidup segan mati sungkan.

Koperasi menjadi absurd: wujuduhu ka adamihi. Mereka digilas begundal kolonial. Ditikam para naga pemilik Indonesia yang dansa di istana setiap bulan dari dulu hingga kini: Liem Sioe Liong (Salim Group), Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group), Mochtar Riady (Lippo), Tan Siong Kie (Rodamas), Ciputra (Ciputra Group), Usman Admadjaja (Grup Danamon), Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal), Peter Sondakh (Rajawali), Budi Hartono (Djarum), Sugianto Kusuma (Agung Sedayu), Trihatma Haliman (Agung Podomoro), Sofyan Wanandi (Gemala), Bob Hasan (Nusamba Group), William Soerjadjaja (Astra), Susilo Wonowidjojo (Gudang Garam), Benyamin Setiawan (Kalbe Farma), Murdaya Poo (Berca Retail Group), Soekanto Tanoto (RGM), Henry Pribadi (Napan Group), Prayogo Pangestu (Barito Pacific Timber), Joko Tjandra (Mulia), Husein Djojonegoro (ABC Group), Osbert Lyman (Lyman Group), Samadikun Hartono (Modern Group).

Karena dominasi penjajah dan perampok asing-aseng-asong di atas, hari ini bukanlah milik mereka yang memiliki dan menelurkan ide. Juga bukan milik visioner yang membangun arena untuk melancarkan kekuatan ide dan mentransformasikannya menjadi tindakan. Juga bukan milik para jenius yang berkarya bagi sesama.

Tetapi milik para begundal yang menghancurkan idealisme, menghabiskan tabungan moral dan melacurkan kecerdasan-kejeniusan demi perutnya sendiri. Sungguh, kasihan bangsa yang tempat-tempat ibadahnya penuh puja dan puji selalu menggema; para agamawan antri pamer ibadah setiap hari, tapi para pencuri, perampok dan begundal tertawa-tawa karena mereka bebas semaunya: tinggal di istana dan makan bangkai saudara-saudarinya sendiri.

Karenanya gagasan revolusi sebagai “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” tidak mendapat tempat dan kesempatan lagi. Terus terang, aku belum tahu jalan keluar selain revolusi untuk hidup di republik tongkol ini. Begitulah kini. Makin ke sini revolusi dan koperasi makin hilang dan irrelevan.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini