Oleh Ahwan Fanani – dosen FISIP UIN Walisongo
Tangan NATO di Ukraina
Putin barangkali tidak menyangka bahwa operasi militer di Ukraina memakan waktu yang cukup panjang dan biaya besar. Pasalnya, meski bukan anggota NATO, tetapi persoalan Ukraina menyangkut “harga diri NATO.” Oleh karena itu, media-media Barat selalu menunjukkan penghargaan terhadap keberanian rakyat Ukraina melawan Rusia, dus mengompori mereka untuk terus melawan. Negara-negara NATO juga tidak menunjukkan keinginan atau dorongan agar Rusia dan Ukraina berunding untuk menyelesaikan konflik mereka. Perundingan-perundingan yang telah dilakukan selalu gagal karena kesulitan untuk mencapai kompromi.
Ada kalanya, Zelensky menyerukan agar Rusia mau berunding, disertai dengan nada gertakan. Seperti tanggal 26 February, Zelensky menyeru Rusia untuk berunding, atau akan mendapat sanksi ekonomi, termasuk dikeluarkan dari Swift. Nada bicara Zelensky saat itu agak ragu dan seperti membaca teks.
Tidak berselang lama, Rusia pun mendapat sanksi ekonomi dari negara-negara Barat, sebagaimana ancaman Zelensky. Sebagai pemimpin negara yang tidak masuk keanggotaan NATO atau Uni Eropa, perkataan Zelensky sangat akurat karena boleh jadi itulah skenario yang diberikan kepadanya oleh negara-negara pendukung Ukraina di balik layar.
Dengan mengalirnya pasukan NATO dan US di negara-negara tetangga Ukraina, pasokan senjata dan tentara NATO sangat dimungkinkan masuk ke Ukraina untuk membantu perlawanan atas nama tentara bayaran. Itulah penjelasan mengapa konflik Ukraina berkepanjangan.
Rusia harus mengeluarkan senjata-senjata canggihnya seperti pesawat SU-35 dan rudal balistik Kinzal. Operasi militer Rusia pun meningkat intensitasnya dan peralatan perang yang dipergunakan semakin canggih, padahal sudah 25 hari operasi militer atau invasi Rusia berlangsung dengan ribuan instalasi militer Ukraina menjadi sasaran. Konflik Rusia dan Ukraina tampak telah memasuki babak baru.
Pada saat Perang Dingin, Rusia dan US (plus NATO) selalu terlibat perang tidak langsung. Rusia dukung Iran, Amerika dukung Irak dalam Perang Irak dan Iran Tahun 1980 – 1988. Saat perang Afghanistan, Amerika mendukung kelompok Mujahidin melawan pendudukan Rusia. Dalam konflik Syiria, Rusia mendukung Pemerintahan Bashar al-Assad, sedang Amerika mendukung kelompok-kelompok pemberontak.
Namun dalam perang yang melibatkan NATO dan US secara langsung, seperti Perang di Iraq dan Afghanistan pasca 9/11, Rusia tidak ikut melibatkan diri. Hal itu tentu menjadi pemikiran Rusia mengenai keterlibatan NATO dan US dalam operasi Rusia di Ukraina.
Di Ukraina, NATO dan US memakai strategi seperti di Afghanistan tahun 1979 – 1989. Mereka membantu perlawanan setempat dan berharap Rusia bisa dipukul mundur, tanpa harus secara frontal US turun langsung. Secara eksplisit NATO menunjukkan sikap tidak terlibat konfrontasi militer dengan Rusia, seperti menolak permintaan Zelensky agar NATO menyatakan zona larangan terbang di langit Ukraina. Jika hal itu dipenuhi NATO, berarti NATO harus terjun ke medan laga dengan menghalau pesawat-pesawat Rusia dari langit Ukraina. Namun, NATO tidak setuju adanya zona larangan terbang.
Sikap tidak terlibat langsung itu tidak berarti NATO dan USA ingin netral. Sanksi ekonomi dan politik terhadap Rusia dan dukungan senjata ke Ukraina adalah bentuk keberpihakan NATO dsn US. Namun, sanksi ekonomi terbukti belum efektif untuk menghentikan invasi Rusia.
NATO dan US sangat mungkin terlibat lebih jauh dalam konflik Ukraina, termasuk melalui operasi militer diam-diam. Zelensky mengisyaratkan tanggal 17 Maret bahwa Perang Dunia ke-3 sedang berlangsung saat ini.
Biden sudah memperingatkan agar China tidak membantu Rusia pada 18 Maret 2022 kemarin. US sendiri secara tidak langsung melibatkan diri dalam konflik Ukraina, baik melalui sanksi terhadap Rusia dan dukungan senjata dan intelejen bagi Ukraina hingga
Sanksi yang Sulit
Meskipun Rusia diberi sanksi ekonomi hingga politik oleh negara-negara Barat, tetapi bukan berarti nasib Rusia tamat. Pertama, dengan wilayah terluas di dunia, Rusia memiliki kekayaan alam berlimpah. Eropa dan US bergantung pada pasokan gas dan minyak dari Rusia. Rusia juga menjadi eksportir kebutuhan pokok dunia, termasuk gandum.
Kedua, sanksi tidak mampu memutus hubungan dengan dunia luar. Ada China yang berbatasan langsung dengan Rusia dan bersikap membela Rusia. Ada India yang tanpa ragu masih menjalin bisnis dengan Rusia. Belum lagi, Rusia punya kerjasama dengan negara-negara sekutunya, seperti Syiria, Kuba dan negara-negara CSTO. Tidak lupa, ada Korea Utara dan Iran yang turut menguji senjata untuk mengganggu konsentrasi Barat.
Turki dan Saudi Arabia, meski secara politik bersekutu dengan Amerika atau NATO, tetapi tidak mendukung sanksi berlebihan pada Rusia. Mayoritas negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin tidak menunjukkan keberpihakan, meski secara formal turut mengecam invasi Rusia di PBB.
Hasil yang Gelap
Jika konflik Rusia versus Ukraina murni antara kedua belah pihak hasilnya bisa lebih cepat diketahui dan tidak memakan banyak korban. Tetapi konflik kali ini menjadi adu otot Rusia dengan NATO dan USA. Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang paling kuat bertahan dalam situasi ini? Biaya perang sangat mahal sehingga perhitungan biaya ekonomi, politik hingga sosial pasti tidak terabaikan.
Zelensky, sebagai mantan artis, sulit dibilang faham mengenai perang dan geopolitik. Tetapi ia memainkan peran sebagai proxy Barat dalam peperangan di negerinya sendiri. Bagi sebagian pengamat, sikap Zelensky ini sulit dipahami karena akan menjadikan negerinya sebagai medan pertempuran besar. Mariopol dan Karkhiev, misalnya, mengalami kerusakan parah dan hancur akibat gempuran Rusia.
Untuk menjatuhkan kedua kota tersebut, Rusia berkorban banyak peralatan perang, amunisi hingga tentara. Masih ada kota-kota lain yang masih berusaha ditaklukkan Rusia. Untuk menaklukkannya, Rusia butuh tindakan keras dengan pemboman bertubi-tubi. Korban langsungnya adalah rakyat sipil dan fasilitas publik Ukraina.
Anehnya, Zelensky masih bersikukuh dengan sikap untuk tidak menyelesaikan segera konflik via perundingan. Ia memang menyerukan perundingan damai, tetapi disertai gertakan bahwa Rusia mengalami ancaman kerugian beberapa generasi.
Sikap mendua itu masih ditunjukkan oleh Zelenksy. Memang, jika perundingan dilakukan secara bilateral antara pihak Rusia dan Ukraina, sulit bagi Ukraina untuk bisa menolak tuntutan Rusia dan beresiko untuk menjadi pihak yang dirugikan. Wajar jika Zelensky selalu ingin menarik keterlibatan NATO maupun US.
Bagi Rusia, sanksi ekonomi tetaplah punya dampak di tengah biaya besar untuk perang. Pada perjalanan operasi, yang masih di tengah jalan, sulit pula bagi Putin untuk mundur tanpa hasil. Operasi militer Rusia sudah memakan biaya tinggi dan sanksi Barat. Jika terdesak, Putin bisa mengambil sikap yang lebih keras dan membabi buta terhadap Ukraina. Hal tersebut sebenarnya juga diketahui negara-negara NATO.
Namun, NATO juga tidak ingin konflik ini berakhir dengan kekalahan Zelensky. Kekalahan Zelensky akan membuat NATO dan US tampak sebagai pecundang. Bagi mereka, memenuhi tuntutan Rusia sama saja dengan mengakui kekalahan.
Inilah situasi pelik yang berlangsung di Ukraina. Semua pihak tersandera oleh pilihan-pilihan sulit. Tetapi resiko dari permainan egoisme ini adalah perang yang berlarut dan korban yang semakin banyak.
Konflik bisa berlangsung lama di tengah derita jutaan pengungsi warga Ukraina. Tanpa kehendak untuk kompromi, boleh jadi perang berlangsung lebih lama, seperti perang Rusia versus Afghanistan, dan tidak berhenti bulan Mei, seperti prediksi pihak Ukraina.