Sebagai negara kepulauan, ternyata kita tak pernah mengajarkan mentalitas samudra, karakter bahari dan budaya laut. Mengapa itu terjadi? Ada beberapa jawaban. Menurut ibu Aulia, hal itu karena sepuluh sebab. Pertama, regulasi pendidikan kita parsial dan amburadul. Kedua, polanya terlalu administratif dan birokratis. Ketiga, cara konsolidasinya seadanya. Keempat, rantai komunikasinya jauh dan bertele-tele. Kelima, literaturnya parsial dan tak berkelanjutan.
Keenam, praktik di lapangannya minus. Ketujuh, parsial di sosialisasi dan pendampingan. Kedelapan, monitoring dan evaluasinya seadanya sehingga datanya tak bercerita fakta. Kesembilan, ekosistem pendidikannya terlalu kontinental sehingga tidak mendukung. Kesepuluh, tujuan pendidikan telah bergeser ke arah lain yang tak sesuai kondisi negara kita.
Menurut Irawan Djoko Nugroho, mentalitas samudera sudah tidak jadi budaya sejak era Mataram. Terbukti hampir tidak ada karya sastra dari eranya yang membahas kelautan. Kalaulah ada, tak semarak seperti karya sastra tema cinta dan korupsi.
Demikian pula sastrawan Indonesia sejak era Balai Pustaka (BP) hingga saat ini pun jarang membahas tradisi laut bangsa. Karya-karya mereka lebih melayani pasar dan kesukaan publik. Bukan menciptakan diskursus yang mengarahkan publik.
Harus diakui, potret pendidikan kita di semua lini memang tidak lagi inspiratif sehingga tak menghasilkan tindakan imitatif dan budaya inovatif. Kondisinya menjadi inverior di depan politik. Padahal, ekosistem yang seharusnya adalah kebalikannya. Yaitu pendidikan menginspirasi ipoleksosbudhankam. Pendidikan harus memberi pencerahan bagi semua.
Yang kini terjadi itu sebaliknya: kaum terdidik dan kaum bersenjata menjadi patuh pada kaum kaya. Mereka membela yang bayar.
Saat mereka menjadi pembela kaum kaya, dunia riset mati. Tak percaya? Jurnal bahari, kelautan, samudra dan kepulauan itu sedikit sekali. Cuma ada lima. Isi artikelnya juga sedikit. Tak sampai seratus. Pegiatnya juga tak banyak. Buku-buku soal mentalitas samudra dan kawan-kawannya bahkan belum ada.
Akibatnya, big data soal samudra dan kawan-kawannya belum lahir, bahkan belum muncul di program pemerintah. Kampus yang berisi fakultas tersebut juga minim sekali. Tak sampai sepuluh. Maka pantas jika isu ini belum konek dengan isu dan program lainnya. Jaringan ke sektor bisnis belum kuat, ke industri juga tak kuat. Ekosistemnya belum solid.
Lebih sedih lagi, isu dan pengetahuan ini tak ada di pesantren-pesantren. Padahal salah satu lembaga pendidikan besar di Indonesia itu pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya.
Tentu ini pekerjaan rumah yang sangat menantang karena Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan.
Hal ini terlihat dengan garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan kita menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Selain itu, perairan laut di Indonesia dikenal sebagai salah satu daerah “mega biodiversity” penting di dunia dan mengandung potensi sumber daya yang sangat besar, baik keanekaragaman sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Karenanya, pendidikan mentalitas dan budaya samudra perlu menjadi kurikulum utama. Kurikulum ini nantinya menghasilkan perilaku hidup dan tata cara masyarakat terhadap laut dan pemanfaatan seluruh potensi kekayaan maritim yang ada di dalam, di atas, dan di sekitar laut guna memenuhi kebutuhan hidup dan perekonomian negaranya saat ini dan masa datang dengan menggali dan mengembangkan gagasan/ide berupa pengetahuan, sistem norma sosial dan teknologi yang mendukungnya menjadi nyata.(*)