Oleh: Dr. Mohammad Nasih – Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Mlagen Rembang, Jawa Tengah
BAGIAN KE-1
Al-Baqarah: 1-5
الٓمٓ -. ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ – ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ – وَٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِٱلْأخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ – أُو۟لَٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Alif laam miim. Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada yang telah diturunkan kepadamu dan yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (al-Baqarah: 1-5)
Ada tiga pokok persoalan penting yang sering disalahpahami di dalam rumpun ayat di awal surat al-Baqarah ini. Kesalahapahaman ini berimplikasi sangat serius kepada pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dasar yang dinyatakan oleh al-Qur’an, juga pengabaian terhadap sains dan teknologi. Implikasi lebih lanjutnya berupa paradigma yang keliru dan ketertinggalan umat Islam dalam hampir seluruh aspek kehidupan.
Sebab, sains dan teknologi adalah sarana yang sangat membantu umat manusia untuk membangun peradaban yang unggul. Tanpa sains dan teknologi yang terus dikembangkan, kehidupan umat manusia akan mengalami stagnasi. Padahal perbedaan manusia dan makhluk-makhluk yang lain adalah kemampuan untuk membangun peradaban.
Tiga pokok permasalahan penting itu adalah:makna al-kitâb, penekanan untuk percaya kepada wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, dan pengulangan keyakinan kepada akhirat padahal sebelumnya sudah ada beriman kepada yang ghaib yang diantaranya adalah akhirat.
Pertama, makna al-kitâb. Di dalam kitab-kitab tafsir klasik, kata al-kitâb diartikan al-Qur’an. Padahal ketika ayat ini turun, al-Qur’an belum terkumpul secara keseluruhan. Dalam urutan pewahyuan, surat al-Baqarah berada pada urutan ke-87 dari total 114 surat di dalam al-Qur’an. Masih ada 27 lagi surat yang turun setelahnya yang sebagiannya adalah surat-surat kategori terpanjang. Memang kalau kata ini dimaknai al-Qur’an, sesungguhnya dari sisi fakta tidak ada masalah. Namun, pemahaman yang bisa ditarik menjadi kurang tajam, kurang spesifik pada permasalahan yang dihadapi, dan tidak memiliki perhatian sama sekali kepada sains dan teknologi.
Al-Qur’an sendiri sesungguhnya telah memberikan makna al-kitâb sebagai yang tidak sama dengan al-Qur’an. Ada cukup banyak ayat yang membuktikan tentang itu, tetapi yang paling jelas menggunakan dua kata itu secara beriringan adalah QS. Yusuf: 1-2.
الر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ – إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat Kitab yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab) berupa bacaan yang berbahasa Arab, agar kalian memahaminya. (Yusuf: 1-2).
Dua ayat ini memiliki perspektif yang mirip dengan QS. al-Zukhruf: 2-3.
وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ – إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Demi Kitab yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikannya (Kitab) berupa bacaan yang berbahasa Arab supaya kamu memahami(nya). (al-Zukhruf: 2-3).
Konsekuensi dari terjemahan ini adalah koreksi terhadap terjemahan oleh di antara Departemen Agama RI yang memaknai al-kitab di dalam ketiga ayat tersebut dengan al-Qur’an. Mestinya kata al-kitâb di dalam ketiga ayat tersebut dimaknai dengan ketetapan. Makna ini lebih mencakup, karena al-Qur’an berisi tentang ketetapan, informasi masa lalu/kisah, dan informasi masa depan. Yang membuat al-Qur’an berbeda dengan bacaan-bacaana yang lain adalah ia sangat mengagumkan karena menggunakan bahasa sastra yang sangat tinggi. Ungkapan dengan bahasa sastra tinggi itulah yang dimaksud dengan qur’ân.
Dengan demikian, al-Qur’an adalah keseluruhan ungkapan yang menggunakan bahasa sastra tingkat tinggi. Padahal sebelumnya, tidak mudah menyajikan ketetapan dengan menggunakan ungkapan yang sangat indah. Namun, wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad ini ternyata memiliki karakteristik yang demikian. Walaupun ia berisi ketetapan, tetapi tetap bisa diungkapkan dengan bahasa sastra yang mempesona.
Berdasarkan perspektif ini, maksud al-Baqarah: 1, adalah bahwa seluruh ketetapan Allah tidak tidak ada keraguan di dalamnya, dan ia merupakan petunjuk yang jelas dan memudahkan bagi orang-orang bertakwa.
Ayat lain yang bisa melegitimasi makna ketetapan untuk kata al-kitâb yang merupakan bentuk mashdar dari kata lampau ka-ta-ba, adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, ditetapkan/diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (al-Baqarah: 183)
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Nisâ’: 24)
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah ketetapan (kewajiban) yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (al-Nisa’: 103)
Ketetapan Allah dan hukum kausalitas
Jika ditarik kepada ta’wil dan dilepaskan dari hubungan dengan kedua rumpun ayat di Yusuf: 1-2 dan al-Zukhruf: 2-3, al-kitâb di dalam al-Baqarah: 2, juga bisa dimaknai sebagai ketetapan Allah yang bersifat menyeluruh, termasuk di dalamnya adalah hukum kausalitas yang ada di dalam alam semesta. Dengan adanya hukum kausalitas itu, maka manusia bisa memahami ketetapan Allah SWT. dan bisa dijadikan sebagai tanda-tanda untuk menjalani kehidupan dengan benar, baik, teratur, dan harmonis.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ – الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali Imran: 190-191)
Dengan mengetahui hukum alam yang tidak berubah itu, manusia bisa menjalankan shalat, puasa, dan juga haji sesuai dengan waktunya. Sebab, shalat telah ditetapkan lima kali sehari semalam dengan waktu yang ditentukan. Demikian juga puasa wajib dijalankan pada bulan Ramadlan mulai fajar sampai waktu maghrib, dan haji berdasarkan kesepakatan ulama’ pada bulan Dzul Hijjah. Hanya dengan mengetahui sunnatullah yang ada di alam semesta, ketetapan-ketetapan Allah tersebut bisa dijalankan dengan benar. Untuk untuk keperluan tersebut, pengembangan sains dan teknologi mutlak diperlukan.
Karena itulah, al-Qur’an menegaskan bahwa jika Allah dan rasulnya telah memberikan ketetapan, maka orang yang beriman tidak memiliki pilihan lain:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al-Ahzab: 36)
Kedua, percaya kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Konsep kenabian dan wahyu telah dipahami oleh masyarakat Arab pra Islam. Bahkan beberapa di antara mereka memiliki cita-cita untuk mendapatkan anugerah kenabian tersebut. Apalagi para penganut agama-agama samawi sebelummya. Mereka sudah mengetahui bahwa akan ada rasul terakhir yang akan menjadi pemimpin seluruh umat manusia.
Namun, ketika Nabi Muhammad diutus untuk memenuhi janji Allah, mereka yang sebelumnya menanti-nantikan kedatangannya, justru mengingkarinya. Mempercayai wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad sama saja dengan mempercayainya sebagai utusan Allah yang sebelumnya telah dijanjikan. Sebaliknya, percaya kepada wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad mengharuskan untuk percaya kepada seluruh wakyu yang disampaikan sebelumnya. Tidak percaya kepada salah satunya saja, bisa menggugurkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Ketiga, penyebutan untuk meyakini akhirat, padahal dalam ayat sebelumnya sudah ada ketentuan untuk beriman kepada yang ghaib, dan di dalam Islam, di antara yang ghaib itu adalah akhirat. Jika konteks sosio historis ayat ini tidak dipahami dengan baik, maka seolah al-Qur’an menyatakan sesuatu yang tidak berguna karena diulang-ulang.
Dalam kasus pengulangan ini, al-Qur’an ingin membangun konsepsi kepercayaan kepada yang ghaib secara lengkap. Sebab, kepercayaan mayoritas masyarakat Arab sebelum Islam datang tidak lengkap. Mereka memang sudah percaya kepada Allah, malaikat, dan jin, tetapi mereka tidak percaya kepada akhirat. Mereka berpandangan bahwa Allah memang menciptakan langit, bumi, matahari, dan juga bulan sebagaimana hal ini diakui sendiri oleh al-Qur’an:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (al-‘Ankabut: 61).
Karena mereka tidak percaya kepada akhirat, maka mereka berpandangan bahwa kehidupan hanyalah di dunia saja. Mereka akan binasa oleh waktu dan tidak ada lagi kehidupan setelah kematian di dunia ini.
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ ۚ وَمَا لَهُمْ بِذَٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (al-Jatsiyah: 24)
Dalam konteks ini, penyebutan yakin kepada akhirat menjadi sangat relevan. Sebab, mereka memang tidak percaya kepadanya. Dan di antara kriteria orang yang bertakwa adalah yang percaya kepada akhirat. Di akhirat nanti, manusia akan dibangkitkan kembali dan diberi balasan amal mereka selama hidup di dunia. Yang baik dan mendapatkan ridla Allah akan mendapatkan balasan surga selamanya. Sebaliknya yang menyebabkan murka Allah akan mendapatkan balasan neraka. (Bersambung)