Demokrasi kriminal sebagai kelanjutan dari demokrasi ultra liberal kini menemukan fakta aktualnya di Indonesia: pemimpin yang tidak kompeten. Sejak awal, Presiden Joko Widodo memasarkan blusukan dan pencitraan sederhana, ternyata tak menghasilkan apa-apa kecuali krisis ekopolsusbudhankam.
Ia mengajarkan pada kita seni menipu dan satire kecurangan. Akhirnya, kenihilan dan kehancuran sebagai hasil kenegaraan!
Terlebih pasca virus corona datang guna mencipta perang. Satu perang yang sulit diatasi apalagi dimenangkan karena yang kita hadapi “tidak terdeteksi” apapun soal dirinya. Sehingga kita seperti perang dengan musuh yang tidak tak terbaca: tanpa road map, tanpa rencana, tanpa target. Menggempur bayang-bayang syaitan.
Akhirnya: Republik kita ini dirobohkan oleh pemimpin tak kompeten, oligarki dan aparat keparat penegak hukum: polisi, jaksa, hakim plus pengacara. Bagaimana membetulkannya kembali? Bagaimana memenangkan perang antara kesadaran dan kejahiliyahan?
Dari perang ini, presiden Joko Widodo “tidak dapat” dikategorikan mempunyai sifat kepemimpinan pancasilais karena tidak memiliki perilaku:
1) Credible, artinya mempunyai sifat konsisten dan komitmen yang tinggi apa yang diucapkannya dengan yang diperbuat.
2) Creation Opportunities, artinya menciptakan peluang bagi warganegaranya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan.
3) Carying, artinya menunjukkan kepedulian kepada warganegaranya sehingga membuat mereka merasa diakui menjadi bagian dari negara.
4) Communication, artinya mempunyai ketrampilan komunikasi yang baik dengan warganegaranya dan negara lain.
Pada syarat minimal berupa kemampuan 4C seperti di atas, nilai Presiden Joko Widodo adalah D. Tidak lulus. Tetapi, kita bisa apa? Tokh ia presiden. Hasil demokrasi kriminal yang legal. Kini kita hanya bisa nikmati hasilnya: kutukan demokrasi kriminal. Satu peristiwa hasil produsen para oligark yang bengis dan jahat.(*)