Nurul Ichwan
Nurul Ichwan. Foto Dokumen pribadi

Oleh Nurul Ichwan Mahasiswa Magister (S2) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo

Selama bulan Ramadhan, umat Islam seringkali diperdengarkan hadits-hadits yang menerangkan keutamaan Ramadhan. Salah satunya adalah hadits bulan Ramdhan dibagi menjadi tiga bagian; 10 hari pertama adalah ampunan, 10 hari kedua adalah rahmat, dan 10 hari ketiga adalah dijauhkan dari api neraka.

Hadits tersebut pada dasarnya diperdebatkan kesahihannya. Ada yang meneliai derajat dari hadits tersebut dha’if atau lemah dan ada juga yang menilainya munkar. Dikarenakan dari segi sanad dan matan masing-masing terdapat unsur yang melemahkan.

Pun, juga dipertanyakan ‘bagaimana mungkin ampunan, rahmat dan pembebasan dari api neraka oleh Allah SWT hanya dibatasi dengan masing-masing 10 hari di bulan Ramadhan?’

Pertanyaan tersebut wajar saja dimunculkan apabila menilik hadits lain maka tampak ada pertentangan. Seperti hadits “barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena keimanan dan penghisaban maka diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari). Hadits ini nampak bertolak belakang dengan hadits sebelumnya. Jika pengampunan dalam hadits sebelumnya adalah pada 10 hari pertama, hadits kedua menerangkan bahwa pengampunan tidak terbatas oleh pembagian hari dalam Ramadhan.

Terlepas dari perdebatan status hadits di muka, bagi umat Islam sudah tentu senantiasa mengharap rahmat (kasih sayang) dan mahgfirah (ampunan) Nya dari Allah SWT. Lalu bagaimanakah cara untuk meraih itu semua?

Analogi sederhana tentang itu adalah ibarat hubungan antara pegawai dengan majikannya. Seorang majikan akan memberikan gaji, bonus dan tunjangan lainnya apabila sang pegawai bekerja sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh majikan.

Lalu bagaimana dengan ketentuan yang diberikan Allah SWT agar kita semua mendapatkan rahmat dan mahgfirah-Nya?

Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT adalah yang paling mengerti ketentuan-ketentuan yang diberikan Allah SWT kepada umat-Nya. Melalui apa yang disampaikan Nabi kita semua menjadi tahu ketentuan itu. Nabi pernah bersabda:

“Orang-orang yang menebarkan kasih sayang, Allah yang maha pengasih (Al-Rahman) akan mengasihi mereka semua. Tebarkanlah kasih sayang terhadap penduduk bumi maka penduduk langit akan mengasihi kalian semua.” (HR. Tirmidzi)

Dari hadits tersebut sangat jelas bahwa apabila seseorang ingin mendapatkan rahmat dari Allah SWT maka hendaklah ia menebarkan kasih sayang terhadap sesamanya. Mengapa demikian? Tanpa kita sadari, bisa jadi di antara kita tidak jarang lupa bahwa saat dalam do’a kita memohon untuk mendapatkan rahmat dari Allah SWT, namun di luar do’a tidak jarang kita lupa untuk menebarkan kasih sayang terhadap sesama kita. Bahwa kasih sayang sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut adalah suatu perilaku yang nyata, bukan harapan semata.

Selaras dengan hal tersebut, dalam hadits-hadits yang menjelaskan tentang keimanan Nabi Muhammad SAW seringkali memberikan penjelasan dengan indikasi bukan definisi. Sebagai contoh, “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam hadits tersebut Nabi secara jelas telah menyebutkan bahwa indikasi dari implementasi keimanan seorang hamba adalah berkata yang baik, memuliakan tetangga dan tamu. Semua itu adalah bagian dari bentuk kasih sayang yang harus ditunaikan manusia beriman terhadap sesamanya.

Dari beberapa hadits di atas nampak bahwa pengharapan terhadap rahmat Allah SWT oleh seorang hamba haruslah diwujudkan dengan mau berbagi kasih sayang terhadap sesamanya. Begitu juga dengan mengharap ampunan, haruslah mau untuk memberi pemaafaan terhadap sesamanya. Jika tidak dengan cara seperti itu, bisa jadi di kemudian hari atas do’a-do’a yang kita panjatkan, Allah SWT akan menanyakan “untuk apakah rahmat dan ampunan yang senantiasa engkau mohonkan sedangkan dirimu saja tidak mau memberi kasih sayang dan pemaafan kepada sesamamu?”

Terakhir, apabila kita tilik lebih dalam dari do’a yang umum dipanjatkan oleh seorang muslim dari do’a Nabi Adam “Rabbana dzolamna anfusana wa in-lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin” yang artinya “ya Tuhan kami, kami telah dzalim pada diri kami. Apabila engkau tidak merahmati dan mengampuni kami sungguh kami termasuk orang yang merugi.” Atas doa’ tersebut, pernahkah kita merasa rugi apabila kita kehilangan rasa kasih sayang dan pemaafan dalam diri kita terhadap sesama kita? Jika tidak, maka bisa jadi do’a kita hanyalah dusta di hadapan Allah SWT, sebab dalam do’a mengharap rahmat dan ampunan namun dalam perilaku mudah menebarkan kebencian. Wal’iyadzu billah.

Semoga bulan Ramadhan dapat selalu kita jadikan momentum untuk mengasah rasa welas asih dan pemaafan dalam diri kita terhadap sesama umat manusia.

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here