Oleh: Dr. Mohammad Nasih – Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Mlagen Rembang, Jawa Tengah
BAGIAN KE-2
Al-Baqarah: 6-7
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ – خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (al-Baqarah: 6-7)
Di dalam kedua ayat ini, masing-masing terdapat pokok permasalahan yang bisa menyebabkan pemahaman yang tidak benar. Pertama, jika orang kafir sama saja, diberi peringatan atau tidak diberi peringatan, mereka tidak akan beriman, maka mengapa di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat lain yang memerintahkan untuk berdakwah?
Kedua, jika Allah yang telah mengunci mati hati mereka, kenapa orang kafir dijatuhi hukuman berupa siksa yang pedih? Itu adalah pertanyaan yang disebabkan ayat ini tidak dipahami sesuai konteks sosio-historisnya. Namun, jika dipahami secara utuh dengan melibatkan konteks sosio-historisnya, dan memahami makna ka-fa-ra secara tepat, maka rumpun ayat ini akan memberikan pemahaman yang tidak menyisakan pertanyaan dan kejanggalan.
Pertama kali yang perlu dikaji secara mendalam adalah kata ka-fa-ra, yang arti awalnya adalah menutupi atau menyembunyikan. Dan kâfir dalam konteks tersebut adalah petani. Sebab, petani adalah orang yang di antara pekerjaann utamanya adalah menanam. Teknis menanam adalah memasukkan biji ke dalam lubang yang telah dipersiapkan, lalu menutupnya dengan tanah agar tidak dimakan unggas, utamanya burung. Makna asli ini masih digunakan di dalam al-Qur’an walaupun hanya sekali:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (al-Hadid: 20)
Orang-orang kafir yang dimaksud dalam ayat di atas adalah orang-orang yang sebenarnya sudah mengetahui informasi tentang akan datangnya seorang rasul akhir zaman bernama Muhammad. Mereka ini adalah orang-orang musyrik Makkah dan juga para ahli kitab di Madinah. Orang-orang musyrik Makkah sudah sering mendengar tentang akan lahirnya seorang rasul. Bahkan nama Muhammad diberikan oleh Abdul Muththalib sesungguhnya karena ia dan ketiga sahabat pengusahanya, Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah, ketika sedang dalam perjalanan bisnis ke Syam, ditanya oleh seorang pendeta apakah sudah lahir manusia bernama Muhammad di Makkah? Oleh pendeta tersebut dikatakan bahwa itulah nama rasul yang dijanjikan oleh Allah dalam kitab sucinya.
Karena itulah, keempat orang itu ingin memberikan nama Muhammad kepada bayi yang akan lahir dalam keluarga mereka. Riwayat ini menjadi bukti bahwa bahkan mereka menginginkan rasul terakhir itu lahir dalam keluarga mereka sendiri. Bahkan walaupun nama ini dianggap sebagai nama yang asing atau aneh. Sebab, biasanya mereka menamakan anak-anak yang lahir dalam keluarga mereka dengan nama leluhur mereka yang dianggap mulia.
Sedangkan ini adalah nama yang belum pernah digunakan. Abdul Muththalib pun ketika ditanya kenapa cucunya dinamakan Muhammad yang berarti terpuji, dia mengatakan bahwa ia ingin agar cucunya itu dipuji tidak hanya di bumi, tetapi juga di langit.
Ahli kitab telah membaca informasi tentangnya di dalam kitab yang mereka baca. Bahkan, oleh al-Qur’an digambarkan bahwa mereka sudah mengenali ciri-ciri rasul terakhir itu dengan sangat detil.
Al-Qur’an menggambarkan pengetahuan mereka yang detil itu dengan ungkapan bahwa mereka mengenalinya sebagaimana mereka mengenali anak mereka sendiri. Orang tua mengenali anaknya tentu saja sangat detil, karena setiap hari melakukan interaksi secara intim.
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (al-Baqarah: 146).
Ayat ini menjelaskan tentang dua hal. Pertama, yang dimaksud orang kafir adalah ahli kitab. Ini dijelaskan sendiri oleh oleh hal kedua, yakni makna kata ka-ta-ma, menyembunyikan. Namun, bisa juga dipahami bahwa orang-orang kafir itu tidak terbatas pada ahli kitab, melainkan juga orang-orang musyrik di Makkah. Sebab, mereka sudah mengenal dengan baik seorang pemuda bernama Muhammad sebagai orang yang memiliki integritas tinggi, sehingga mendapatkan julukan al-Amîn yang berarti terpercaya. Maka mestinya, ketika Muhammad mendeklarasikan diri sebagai utusan terakhir Allah, mereka mempercayainya. Namun, mereka justru bersikap sebaliknya dengan mendustakannya, lalu menyakiti dan mengusirnya.
Baca juga yuk: Tafsir Nurul Furqan Surat Al Baqarah Ayat 1-5
Bahkan, orang Yahudi berharap kedatangan rasul yang dijanjikan itu, agar mereka memiliki pemimpin sebagaimana Bani Israil sebelumnya memiliki nabi-nabi yang menjadi pemimpin untuk mengalahkan orang-orang kafir yang menjadi musuh-musuh mereka.
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ ۚ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (al-Baqarah: 89)
Mereka tidak mau menerima kerasulan Nabi Muhammad disebabkan oleh perasaan iri dengki belaka. Di antara penyebabnya adalah Muhammad tidak berasal dari golongan mereka sendiri, atau dianggap akan menyebabkan perpecahan di antara suku-suku yang sebelumnya telah bersatu dan menempatkan mereka sebagai elite. Itulah yang terjadi di kalangan masyarakat di Makkah dan sekitarnya.
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ – أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Dan mereka berkata: “Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (al-Zukhruf: 31-32)
Ahli kitab menolak Nabi Muhammad sebagai utusan Allah di antaranya karena mereka sebelumnya sudah terlalu percaya diri sebagai umat terpilih, dan rasul terakhir itu juga akan berasal dari garis keturunan mereka. Bani Isra’il adalah anak-anak keturunan Isra’il. Isra’il adalah nama alias untuk Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. Namun, ternyata rasul yang terakhir itu lahir dari garis keturunan Isma’il. Fanatisme kepada garis keturunan atau kelompok inilah yang menyebabkan mereka tidak mau menerima kebenaran yang datang dari kelompok lain. Sebab, mereka berpandangan bahwa dengan menerima itu, kemuliaan mereka akan hilang. Padahal kemuliaan itu adalah juga sarana yang sangat mudah digunakan untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Sikap mereka yang demikian itulah yang menyebabkan Allah murka, sehingga kemudian sekalian mengunci mati hati mereka. Ibarat orang yang tidak mau memasuki rumah pada saat malam yang dingin karena gengsi mendapatkan pertolongan. Karena sikap yang didorong oleh penyakit hati itulah, maka pintu rumah yang semula dibukakan untuknya kemudian dikunci dan kesempatan untuk masuk ke dalam rumah tidak ada lagi.
Inilah ungkapan indah yang digunakan oleh al-Qur’an untuk menggambarkan orang-orang yang sudah tahu bahwa Nabi Muhammad adalah rasul yang terakhir. Namun, mereka menolaknya, disebabkan pandangan mereka jika menerima kerasulan Nabi Muhammad, mereka akan kehilangan keuntungan-keuntungan duniawi yang sebelumnya mereka dapatkan.
Ayat yang senada dengan ini adalah:
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (al-Munafiqun: 3).*