Merindui Kematian Jiwa
Merindui Kematian Jiwa. Foto Pixabay/Merlinlightpainting

“Masalah” di negara kita itu cukup dibicarakan (diperdebatkan) bukan dipecahkan (diselesaikan). Karenanya, ilmu-ilmu penting seperti geografi (di)hilang(kan). Sebaliknya, pilkadal diwajibkan. Kerelah kita karena SDA-nya hilang, ribut dijejali SARA. Dengan ini, kematian jiwa adalah produk semena-mena. Tugasnya satu: menganggap hal sepele menjadi penting dan mementingkan hal sepele.

Malaikatku. Embun ini putih. Sinar mentari gugup. Sepanjang umur. Sepanjang nalar. Meskipun raga ini sedang terluka. Tetapi karena menemukan cinta, rasa terus ingin bertahan tumbuh dan berimbun-rimbun. Seringkali banjir. Meluap ke atlantik. Kota yang tak madinah. Peradaban tak beradab.

Sungguh. Tidak ada kerinduan yang lebih menyakitkan selain kekangenan pada kalian. Aku tidak akan pernah lupa apa yang kita ajarkan, lakukan dan katakan walau kalian bisu, tuli, buta dan sepelekan.

Singkatnya sekarat. Pada cinta dan keyakinan. Pada harap dan khayalan. Pada getir dan kejuangan. Sontak. Kutandatangani semua hal-ikhwal akan keindahan. Kuparaf akan kebahagiaan. Kegoreskan buku-buku keabadian dan kesetiaan. Walau kutahu. Ada semilyar gergaji dan pelecehan. Juga soal fatamorgana. Dan sial-sial remeh para durja.

Malaikatku. Kini jiwa ini seperti keinginan yang telah patah. Kecintaan yang telah purba. Gelap yang tiada akhir. Terang yang tiada datang. Akankah di sana menginginkan sebagaimana keinginan para pecinta. Bukan pada keentahan. Bukan pada kebodohan dan kejumudan.

Kenapa engkau menyembah benda mati (batu hitam dan jilidan kertas) sambil melecehkan kesejatian?

Sadarkah, malaikatku? Engkau adalah garis. Bahkan masjid kekuatan. Engkau titik. Bahkan gereja keindahan. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan hari ini tanpamu. Kecuali doa dan ziarah. Sebab itulah warisan jahiliyah yang disembah. Selebihnya menghapal dan merapal lafal-lafal si pandir. Agar tak mandi dalam kobaran neraka. Agar terindungi dan terjaga, katamu tak yakin.

Aku adalah cinta. Bahkan puncak-puncak kesepian. Aku adalah mukjizat. Bahkan kejeniusan terbesar. Akulah pengikat jiwa-jiwa pemberontak. Pemimpin sejak kanak-kanak. Yang berkuasa atas nama kasih. Yang menentukan rahasia-rahasia negara ini. Yang cintanya telah menyentuh jiwa kita dan membuatnya terang. Seperti kuil-kuil tua di paruh sungai. Jiwa di mana ragamu sakral.

Kasih. Di jejak dan potret jiwa inilah aku ingin menggandeng tanganmu. Melewati apa yang tak dipahami mereka yang lugu dan wagu. Ya. Beyond love and live.

Ya kamu. Bukan yang lain. Merindukanmu itu mistis. Seperti melukis tangis. Mendekati membuat sketsa. Tentang gemuruh air hujan. Dan, halilintar yang menumpas nyanyianku.

Lalu, kibarkan kuas. Agar waras. Terpapar tentang asmara yang sirna. Tergerus mampus. Terkubur dalam dada. Tak bernyawa. Hidup kok tak berdetak. Hidup yang kuyu. Mati sembilu.

Mengangenimu itu enigmatis. Mirip mencumbu hujan. Dingin dan menggairahkan. Aku kembali terduduk. Aku kembali menangis. Aku kembali pilu. Di atas kebekuan bara hati. Di atas takdir yang tak beralamat. Tuhan memang maha dancuk. Semau-maunya buat kisah. Semau gue buat susah.

Menunggu kabarmu itu senyap. Persis berjalan sendiri. Persis menyusuri sungai berliku. Persis mengayuh perahu di atas samudra. Satu putusan soal penting. Apakah langkah kubawa ke hulu ataukah ke muara. Atau bunuh diri. Tenggelam di dasar samudra. Tak ada pilihan cerdas. Seperti pilek menahun. Tanpa obat dan tanpa rekayasa.

Malaikatku. Kau kini ada di mana. Dalam rimba keentahan makna. Antara ada dan tiada. Matiku hidupmu dan hidupmu matiku.

Buat kalian yang masih ingin hidup seribu tahun lagi, kubagi mimpi. Kita perlu pikiran besar untuk bertindak besar. Terutama kini saat kita sedang menghadapi desakralisasi dan profanisasi segala hal. Dengan pikiran dan tindakan raksasa, masa lalu dan masa kini yang baik akan mencipta masa depan lebih baik.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here