Dengan jumlah yang demikian besar (PT saja sekitar 3.180), apa yg telah disumbangkan kaum terpelajar modern bagi Indonesia? Tidak banyak, kecuali menjadi pabrik bagi tegaknya neokapitalisme. Ontologinya: pendidikan (di) Indonesia yang mengintegrasikan kita menjadi bagian inti pensuplai tegaknya dunia korporasi sebagai kelanjutan negara korporat.
Dus, Indonesia bukan makin merdeka dan berdaulat atas kehadiran kaum terpelajar, tapi makin pasti jadi sekrup tegaknya pabrik raksasa pasar neoliberal. Akhirnya, negara tuna data, tuna dana, tuna daya, tuna kuasa, tuna wibawa. 5 Tuna produk kaum terpelajar.
Di mana argumennya? Secara genealogis-historis, hadirnya institusi pendidikan merupakan arsitektur dari kegiatan yang dipisahkan dari aktivitas harian (daily life activities). Lalu mereka menjadi aktifitas khusus dan tersendiri: eksklusif-eksekutif. Itu mengapa, kehadiran universitas merupakan penanda tercerabutnya pengetahuan dari masyarakat yang merupakan pemilik pengetahuan itu sendiri.
Akibatnya, berjuta lulusan bukan menyelesaikan problema masyarakatnya melainkan membuat problema masyarakat meningkat. Cek deh, adakah kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan dan kesakitan makin hilang? Tidak. Dan tidak sama sekali.
Bukankah tak banyak kaum terpelajar di Indonesia yang sanggup menemukan solusi atas masalah warganegara di atas adalah bukti nyata? Pasti. Kini kita sibuk harian saja.
Bukankah mereka kini hanya menambah problema masyarakatnya? Pasti. Meski kini mereka berkuasa di mana-mana. Bagi mereka, penderitaan rakyat itu bukan diselesaikan sebab itu lahan subur untuk memanen popularitas dan elektabilitas. Inilah “anak haram” demokrasi liberal yang dikurikulumkan di sekolah warisan kolonial.
Bukankah keterjajahan, kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, konflik, kesenjangan, kesakitan dan ketergantungan (8K) tak berkurang saat kaum terpelajar bertambah dan berkuasa? Statistik memberi data dan bukti valid.
Itu semua, lagi-lagi dikarenakan kurikulum kolonial yang kita warisi dan kita wariskan. Membuat sekolah yang tercerabut dari rakyat, menegakkan kurikulum yang menjauhi rakyat, memproduksi lulusan yang memusuhi rakyat. Apa buktinya? Saat kaum terpelajar ini berkuasa, mereka tidak bertanya “apa mau rakyat” tapi mereka mempraktekkan “apa mauku.”
Sayangnya, kemauan mereka berlawanan dengan kemauan rakyatnya. Akibatnya kini seperti Indonesia; republik kaya tapi paria di tanah merdeka; negeri agamis tapi produsen koruptor; negeri indah tapi rusak lingkungan; negeri besar tapi kecil mental dan perannya di dunia.
Inilah saat tepat kita bertobat. Mencipta sekolah dengan basis menyelesaikan problema rakyat; menghidupkan kurikulum berbasis konstitusi; memproduksi sarjana desa; menghadirkan agensi pemberi solusi. Kaum rendah hati yang jadi nabi bagi kaumnya.
Tentu peran kaum terpelajar ini meraksasa jika kita ingin mereka menjadi pahlawan. Janji tersebut akan terlaksana jika kelas-kelas alternatif berkurikulum Pancasila, logika, etika, kebangsaan dan UUD 45 dapat direalisasikan secara masif.
Tugas suci itu jadi agama suci keIndonesiaan, berwatak nusantara, bersendi atlantis, berjiwa ksatria. Visi misinya mentradisikan lima karakter dasar (berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, berdemokrasi, berkeadilan) dengan empat program dinamis (melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan, menertibkan).
Jika itu terjadi maka di masa depan kita akan memiliki sedikitnya lima hal: 1) Dua ratus juta kader pancasila. 2) Ketiadaan ketimpangan; tak ada utang; tak ada privatisasi; tak ada buta huruf; tak ada tuna kuasa; tak ada shadow economics. 3) Massifikasi kemandirian warga dan negara. 4) Kemajuan iptek dan imtak yang berdentum. 5) Bebas KKN dan bebas kolonialisme di semua tempat dan waktu.
Kita kini semua kaum terpelajar yang membebaskan atau bangga jadi sekrup neokapitalisme yang menjarah dan menjajah? Mari bertobat cepat di saat tepat.(*)