Jika saja engkau adalah ia
Jika saja engkau adalah ia. Foto Pixabay/Shameersrk

Oleh Yudhie Haryono

Kami bertemu di antara ashar dan maghrib. Di pinggir lapangan sepakbola saat baris-berbaris sampai pada puncaknya. Tak ada tanya. Tak ada sapa. Sebab aku memang baru jatuh cinta pada buku-buku. Kepadamu mungkin hanya jatuh hati. Tetapi, tetap tak ada takdir, apalagi sejarah. Seperti debu yang lupa witir, bagaikan pemimpin yang lupa domba. Maka, setelah setrilyun tahun, aku tetap manyun, gelap dan entah di mana dirimu kini berada.

Semilyar windu lalu, kutemukan kisahmu dari temannya teman kawanku. Kini engkau guru. Ya, guru yang mendesain hati hampa terasa hidupku tanpa dirimu. Sesunggukan kubertanya, “apakah di sana kau rindukan aku? Seperti diriku yang selalu merindukanmu.” Yah kamu pasti tahu kisah Ayub dalam kitab klasik di masa purba. Begitulah aku.

Kuyakin kau tak tahu bahwa tak bisa aku ingkari engkaulah satu-satunya: bukan yang pertama dan terakhir, tapi satu-satunya yang bisa membuat jiwaku penuh seluruh. Aku yang pernah mati menjadi hidup kembali dan merasa berarti. Maka, seperti Ayub, kuingin suatu saat kita bertemu di ujung ajal sambil kukisahkan ketikan yang keren ini. Kisah tak bertuan tetapi bisa penuh makna. Judulnya uang kini segalanya. Izin kumulai:

Sebelum pulang kantor, sang suami menelpon istrinya, “Sayang, alhamdulillah, bonus akhir tahun dari perusahaan sudah turun, Rp. 150 juta.” Di ujung telpon, sang istri tentu saja mengungkapkan rasa syukurnya, “Alhamdulillah, semoga barokah ya mas.”

Sejak beberapa bulan yang lalu mereka sudah merencanakan beli mobil sederhana untuk keluarga kecilnya. Dan, uang yang turun mereka rasa cukup pas sesuai budget.

Namun dalam perjalanan pulang, dia ditelpon oleh ibunya di kampung, “Nak, kamu ada tabungan? Tadi ada orang datang ke rumah. Ternyata almarhum ayahmu punya hutang ke dia cukup besar, Rp. 50 juta.” Tanpa pikir panjang, ia pun bilang ke ibunya, “Iya, Bu, insyaAllah ada.” Dalam perjalanan pulang ia pun sambil berpikir, “Nggak apa-apa lah, masih cukup untuk beli mobil yang 100 jutaan. Mungkin ini lebih baik.”

Ia pun melanjutkan perjalanan. Belum tiba di rumah, HP-nya kembali berdering. Seorang sahabat karibnya semasa SMA tiba-tiba menghubunginya sambil menangis. Sahabatnya itu sambil terbata mengabarkan bahwa anaknya harus segera operasi minggu ini.

Banyak biaya yang tidak bisa dicover oleh asuransi kesehatan dari pemerintah. Tagihan dari rumah sakit Rp. 80 juta. Ia pun berpikir sejenak. Uang bonusnya tinggal 100 juta. Jika ini diberikan kepada sahabatnya, maka tahun ini ia gagal membeli mobil impiannya. Tapi nuraninya mengetuk, “Berikan padanya. Mungkin kamu memang jalan Allah untuk menolong sahabatmu itu. Mungkin ini memang rezekinya yang datang melalui perantara dirimu.” Ia pun menuruti panggilan nuraninya.

Setibanya di rumah, ia menemui istrinya dengan wajah yang lesu. Sang istri bertanya, “Kenapa, mas? Ada masalah? Nggak seperti biasanya pulang kantor murung gini?” Sang suami mengambil napas panjang, “Tadi ibu di kampung telpon, butuh 50 juta untuk bayar utang almarhum bapak. Nggak lama, sahabat Mas juga telpon, butuh 80 juta untuk operasi anaknya. Uang kita tinggal 20 juta. Maaf ya, tahun ini kita nggak jadi beli mobil dulu.”

Sang istri pun tersenyum, “Aduh, mas, kirain ada masalah apaan. Mas, uang kita yang sebenarnya bukan yang 20 juta itu, tapi yang 130 juta. Uang yang kita infakkan kepada orang tua kita, kepada sahabat kita, itulah harta kita yang sesungguhnya. Yang akan kita bawa menghadap Allah, yang tidak mungkin bisa hilang jika kita ikhlas. Sedangkan yang 20 juta di rekening itu, masih belum jelas, benaran harta kita atau akan menjadi milik orang lain.”

Sang istri pun memegang tangan suaminya, “Mas, insyaAllah ini yang terbaik. Bisa jadi jika kita beli mobil saat ini, justru menjadi keburukan bagi kita. Bisa jadi musibah besar justru datang ketika mobil itu hadir saat ini. Maka mari berbaik sangka kepada Allah, karena kita hanya tahu yang kita inginkan, sementara Allah-lah yang lebih tahu apa yang kita butuhkan.”

Mengisahkan kisah ini, aku ingat kata-katamu yang disampaikan kawanku dari temanmu, “Sesungguhnya alam raya mencintai orang-orang yang bekerja di jalan kearifan dalam barisan yang teratur; bhineka tunggal ika. Mereka semestinya seperti bangunan yang tersusun kokoh, bekerja bersama, gotong-royong, asih asuh dan merayakan kemanusiaan. Tanpa kerjasama dalam barisan, kalian akan hancur dan dijajah seperti umat-umat sebelumnya yang suka bertengkar dan bercerai berai (Aldepokz: 24).” Setelah engkau menjadi guru, terlebih guru kehidupanku, kalimatmu menjadi sangat berbobot dan berarti. Sayangnya hatiku kupersembahkan untukmu tetapi kamu tidak tahu.

Kini, kusampaikan wasiat rinduku, “sungguh sangat berbahaya jika uang jatuh ke tangan orang-orang yang tidak peduli pada sesama, sebab ia predatori, centripetal-centrifugal (menumpuk dan berputar-putar) sehingga melahirkan oligarki yang biadab.” Semoga kau tahu dan mengerti.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini