Oleh Nurul Ichwan – Mahasiswa Magister (S2) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo
Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaiyk Yaa imaamal mujaahidiin yaa Rasuulallaah
Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaaik Yaa naashiral hudaa yaa khayra khalqillaah
Lantunan shalawat tarhim sayup terdengar menemani makan sahur. Shalawat yang ditulis oleh Syeikh Mahmud Al-Husshari itu biasa dikumandangkan di waktu fajar sebagai tanda subuh akan segera datang. Seingat saya dulu takmir masjid menggunakan pemutar kaset pita untuk mengumandangkan tarhim. Namun setelah internet masuk desa dan perangkat elektronik bukan lagi menjadi barang sulit, kaset pita sudah diganti dengan sebatang flshdisk.
Melihat jam dinding menunjukan waktu imsak belum segera datang, saya ajukan beberapa pertanyaan kepada kakek selepas makan. Obrolan di teras setelah tarawih tadi malam membuatku menyimpan beragam pertanyaan. Baca: Tadarus, untuk Apa? (1)
Di meja makan ini ingin saya tuntaskan.
“Kek, bukankah al-Qur’an meski hanya dibaca sudah bernilai ibadah dan mendapat pahala?” tanyaku menelisik. Kakek yang sekilas tampak memahami arah pertanyaanku tidak buru-buru menanggapi. Beliau masih menyempatkan meminum teh di hadapannya.
“Oh, iya. Itu benar. Al-Qur’an adalah kalamullah. Allah menurunkannya kepada Nabi Muhammad sebagai wahyu melalui perantara malaikat Jibril. Membacanya sudah pasti bernilai ibadah. Adakah yang membuatmu resah?” jawab kakek yang disertai pertanyaan balik.
“Saya hanya ingin mendapat penjelasan lebih lanjut kek tentang bagaimana seharusnya membaca al-Qur’an agar tidak seperti anak TK yang kakek terangkan semalam,” ungkapku.
“Hahaha…” tawa kakek renyah membuatku sedikit kikuk.
Sejenak kemudian kakek melanjutkan, “Tetaplah berlaku sesuai dengan kodratmu. Kodratmu adalah manusia, bukan makhluk lainnya!” tegas kakek dengan suara yang tenang.
Sejenak aku berusaha mencerna apa maksud beliau tanpa mencoba untuk menyela dan bertanya.
“Kamu adalah manusia yang mukallaf. Jangan pernah mencoba untuk menjadi malaikat,”
“Maksudnya, kek?” tanyaku singkat.
“Malaikat itu sangat fasih dalam menyampaikan wahyu al-Qur’an, tapi ia tidak pernah merasa berkewajiban untuk mengamalkannya. Karena memang itu tugas dia sebagai malaikat. Hanya untuk menyampaikan! Sedangkan kamu adalah manusia,”
“Kamu paham maksud kakek?”
“Hahahaha…” Penjelasan kakek yang demikian membuatku tertawa geli karena malu atas diri sendiri.
“Kakek akan memberikan ibarat agar kamu lebih memahami,” lanjut kakek.
“Ibarat orang yang ingin masak nasi goreng namun tidak mengetahui resep dan caranya maka ia pasti akan mencari petunjuk, salah satunya melalui buku resep. Buku resep yang dibaca akan memberikan informasi tentangnya. Jika ia hanya membaca maka ia hanya mendapatkan balasan berupa pengetahuan cara memasak nasi goreng. Namun jika ia menerapkan resep tersebut maka ia tidak hanya mendapatkan informasi, namun juga nasi goreng yang nyata,” jelas kakek dengan sederhana.
“Nah, Allah menurunkan al-Qur’an adalah untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya. Kamu bahkan sudah hafal ayat tentang itu, yaitu di surat al-Baqarah ayat 185. Coba kamu baca arti dari bagian awal ayat tersebut!”
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil),” bacaku.
Baca juga yuk: Ramadhan, Benarkah Bulan Rahmat?
“Bagus. Jadi, karena al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia, jika kamu merasa sebagai manusia, di saat kamu sedang membaca al-Qur’an maka hayatilah untuk dirimu terlebih dahulu. Jangan terburu-buru menggunakannya untuk menilai orang lain,” terang kakek dengan penuh kelembutan sehingga menjadikan suasana kami hening sesaat.
Dengan suara yang cukup berat kakek melanjutkan, “Kakek khawatir jika kita termasuk dalam golongan yang disebutkan di dalam surat Muhammad ayat 24,”
Aku hanya bisa mematung mendengarkan wejangan-wejangan kakek tersebut. Saya merasa malu karena seringkali terlena dengan diri ini yang merasa sudah fasih dalam membaca al-Qur’an. Bahkan tidak jarang lalai menilai rendah orang yang belum fasih membacanya.
“Ya sudah, imsak sebentar lagi datang. Tuntaskan keperluan makan minummu. Dan jangan lupa niat puasa,” pesan kakek memecahkan keheninganku.
“Baik, kek. Terimakasih atas semua wejangannya,” jawabku penuh rasa syukur.
“Oh iya, rekaman suara tarhim dari masjid sangat indah, ya. Mirip seperti saat kamu membaca al-Qur’an,” tiba-tiba kakek berucap.
Aku pun tersedak sesaat dari minumku. Kemudian aku menjawab “Jadi kakek menyamakanku dengan tape recorder?”
“Hahahaha” kami pun tertawa bersama.
Yaa kariimal akhlaaq yaa Rasuulallaah
Shallallaahu ‘alayka wa ‘alaa ‘aalika wa ashhaabika ajma’iin
Akhir tarhim mengakhiri obrolan kami fajar itu.