Patung Jalaluddin Rumi. Foto Pinterest/Mansour Zeidan
Patung Jalaluddin Rumi. Foto Pinterest/Mansour Zeidan

Oleh Yudhie Haryono

Jika kalian luka, biar puisi mengobati. Jika kalian jahil, biar puisi menalar. Jika kalian miskin dan terjajah, biarkan puisi melawannya. Kini kita perkaya hidup dengan sufi dan puisi. Siapa tahu, luka; jahil; miskin; dan terjajah bisa dilampaui.

Tokoh yang ingin kubagi sudah sangat terkenal. Ia secerdas Gabriel Garcia Marquez dan sepuitik Muhammad. Jalaluddin Rumi adalah penyair sufi dahsyat yang lahir pada 30 September 1207 Masehi di Balkh, kota kecil di Khurasan, Afghanistan. Meninggal pada 17 Desember 1273 Masehi di Konya (Turki).

Karya besarnya ada enam: 1)Maqalat-i Syams-i Tabriz (wejangan-wejangan Syam Tabriz); 2)Divan-i Syams-i Tabriz (lirik-lirik Syams Tabriz); 3)Masnav-i Ma’nawi (Masnawi Jalaluddin Rumi); 4)Ruba’iyyat (sajak 4 baris); 5)Maktubat (Korespondensi); 6)Fihi Ma Fihi (Di dalam apa yang ada di dalam). Karya-karyanya selalu melampaui teks, aspek-aspek prosedur, legal dan mainstream. Sangat subtantif.

Bagi para pecinta puisi dan sufi, pesona Rumi tak mungkin terelakan. Mirip para penggila bola pada Maradona. Ramadan kukira tepat membaca kembali Rumi. Agar tak gersang dan kering cara kita beragama. Tidak seperti arabis bin ontanis.

Kuceritakan lima ide pokoknya. Pertama, Jalaluddin Rumi menulis ide passing over (menjelajahi agama) dan pluralisme. Coba kita kutip tesis dalam puisinya. “Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada “ruang murni’ tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.”

Kedua, ia mendendang soal cinta sebagai inti beragama, “dalam cahayaMu aku belajar mencintai. Dalam keindahanMu aku belajar menulis puisi. Kau senantiasa menari dalam hatiku, meski tak seorangpun melihatMu. Terkadang akupun ikut menari bersamaMu. Dan, “penglihatan agung” inilah yang menjadi inti dari seniku. Sungguh, hakikat Yang Maha Pengasih hadir secara langsung laksana sinar matahari yang menerangi bumi. Namun, kasihNya tidaklah berasal dari berbagai bentuk yang ada di bumi. KasihNya melampaui setiap bentuk yang ada di bumi. Sebab, bumi dan segala isinya tercipta sebagai perwujudan dari kasihNya.”

Ketiga, ia bicara gotong royong. Fatwanya, “jika kau ingin melihat wajahNya, maka tengoklah pada wajah sahabatmu tercinta. Bekerjasamalah sebagai sesama. Sebab, sudah lama aku berteriak memanggil namaMu sambil terus-menerus mengetuk pintu rumahMu. Ketika pintunya terbuka, akupun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam rumahku dan rumah saudaraku.”

Keempat, ia bicara jatidiri sebagai esensi bertuhan. Fatwanya, “Demi Allah, ketika kau melihat jatidirimu sebagai Yang Maha Indah, maka kaupun akan menyembah dirimu sendiri. Di mana saja kau berada, apapun keadaanmu, cobalah selalu menjadi seorang pecinta yang senantiasa dimabuk oleh kasihNya. Sekali kau dikuasai oleh kasihNya, maka kau akan hidup menjadi seorang pecinta yang hidup bagaikan dalam pusara. Dan, kau akan tetap hidup hingga hari kebangkitan itu tiba, lantas kaupun akan dibawa ke dalam surga dan hidup kekal selamanya. Namun, jika kau belum menjadi seorang pecinta, maka pada hari pembalasan seluruh pahalamu tidak akan dihitung.”

Kelima, ia bicara ide keadilan dan keindahan. Fatwanya, “seperti hari lainnya, kita terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan. Namun, janganlah tergesa melarikan diri dari kenyataan pahit ini dengan pergi berdoa atau membaca kitab suci. Lepaskan semua tindakan mekanis yang berasal dari ketaksadaran diri. Biarkan keindahan Sang Kekasih menjelma dalam setiap tindakan kita. Ada beratus jalan untuk berlutut dan bersujud kepadaNya. Tetapi, cara terbaik menundukkan hampa dan takut adalah dengan berbuat adil. Keadilan itu keindahan. Sumber keindahan adalah kita dan Tuhan.”

5 Gagasan besar itu: pluralisme, mencintai sesama, gotong-royong, jatidiri dan keadilan-keindahan adalah barang langka di zaman edan. Kelimanya bagai permata yang tak bisa kita lemparkan sembarangan seperti sebutir batu. Sesuatu yang bagi para sufi juga harus dilampaui sebab, bagi mereka, “kami telah cukup bersamaMu. Tanpa kehadiranMu, seluruh dunia ini hanyalah sebatang kayu yang mengapung dan terombang-ambing di samuderaMu. Bukan kepada dunia, manusia dan batu kami menuju.”

Siapa mau belajar soal Rumi? Saya berharap dapat satu dua salik yang menjadikan Rumi sebagai wasilah dan metodanya.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini