Yudhie Haryono dan Dentuman Kebangkitan Nusantara. Foto Facebook Yudhie Haryono
Yudhie Haryono dan Dentuman Kebangkitan Nusantara. Foto Facebook Yudhie Haryono

Oleh Ryo Disastro

Membaca wacana kemakmuran dan kebangkitan Nusantara hari ini tidak lengkap tanpa menyertakan nama teoritikus yang satu ini. Meskipun sering luput dalam sorotan media-media mainstream saat ini, namun gagasan-gagasannya mampu membuat dentuman yang mengguncangkan pola pikir usang yang seringkali masih kita dapati dalam masyarakat kita. Terutama pada masyarakat yang memuja pencitraan politik.

Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, hampir 50 tahun yang lalu, Yudhie Haryono adalah pribadi yang aktif dan menyempal sejak kecil. Tidak heran saat tumbuh besar, beliau menjadi salah satu mahasiswa yang aktif dalam pergerakan nasional menentang Orde Baru pada periode 1994-1998. Masuk penjara 2 kali tidak membuatnya kapok untuk terus menggelorakan semangat revolusioner kaum muda saat itu, khususnya di lingkungan santri dan intelektual muslim muda.

Salah satu murid langsung dari cendikiawan muslim terkemuka Nurcholish Madjid ini sempat aktif di Yayasan Paramadina sebelum akhirnya berpisah dan mendirikan Nusantara Centre, sebuah lembaga think tank yang fokus kepada kajian Nusantara dan post-colonialism.

Gagasan-gagasan menyempal Yudhie bisa kita dapati dalam karya-karyanya yang bejibun itu. Ambil contoh “Kitab Kedaulatan”. Sebuah karya yang menjabarkan tentang sebuah gagasan besar sumber-sumber kedaulatan dan kemakmuran bangsa kita. Dalam buku ini Yudhie menawarkan sebuah jalan kemakmuran bangsa melalui Revolusi Rempah – Yudhie menyebutnya Peradaban Rempah.

Yudhie kembali mengingatkan kita tentang asal muasal penjajahan yang terjadi selama ratusan tahun lalu. Tentang apa yang membuat kaum penjajah tertarik untuk menguasai Nusantara dan membuat kaum borjuis di Eropa itu kaya raya. Yudhie tidak main-main dalam setiap gagasannya, termasuk tentang Revolusi Rempah. Dia melakukan riset bertahun-tahun sebelum mempublikasikan gagasannya.

Dalam postulatnya, Yudhie menyatakan bahwa rempah-rempah – yang telah menjadi komoditas kolonial masa lalu – adalah salah satu jalan kemakmuran Nusantara di masa kini dan masa datang. Tentu saja bukan dengan menggarap remapah-rempah sebagai komoditas ekspor, tetapi juga memanfaatkannya sebagai salah satu industri strategis nasional, sehingga rempah-rempah tidak hanya digunakan sebagai obat, tetapi memiliki derivatif lainnya yang berlimpah. Industri rempah nasional ini – jika digarap serius – diperkirakan mampu meraup 1000 triliun rupiah per tahun dan menyerap hingga 3 juta tenaga kerja.

Sebagai teoritikus politik, Yudhie memahami bahwa negara berdaulat di masa kini tidak cukup hanya mempersenjatai diri dengan alustista canggih, karena perang di masa kini dan masa datang tidak melulu peperangan fisik dengan saling bertukar peluru dan misil antar prajurit, tetapi lebih dari itu. Kita akan menghadapi proxy war, asymetric war, currency war, agency war, dan bahkan medical war.

Faktanya, Pandemi Covid 19 yang kita alami selama 2 tahun ini adalah salah satu bentuk dari medical war yang telah diprediksi Yudhie sejak 2016. Andai saja ide-ide Yudhie tentang industri rempah nasional “dibeli” oleh negara, maka bukan tidak mungkin jika pandemi dan kemerosotan ekonomi yang dihasilkannya hingga kini bisa diatasi lebih mudah. Tanpa negara kita harus berhutang sana-sini.

Gagasan besar Yudhie lainnya adalah tentang perombakan mental pasca-penjajahan (post-colonialism). Dalam sebuah survei yang dilakukan Nusantara Centre tentang tabiat yang melekat pada bangsa kita, didapati jawaban berikut: menipu, melupa, dan menyogok (suap). Survei dilakukan kepada 200 responden yang terdiri dari supir, PNS, dan mahasiswa. Yudhie menilai tabiat-tabiat buruk ini merupakan nilai-nilai warisan kolonial yang sulit untuk dihilangkan dari keseharian bangsa kita. Ini merupakan mental barrier yang menjadi halangan terbesar kita menuju satu masyarakat yang adil, makmur, dan martabatif.

Untuk itu Yudhie menawarkan “jalan pertobatan” dengan merancang Jalan Ekonomi Politik Pancasila, yaitu dengan menghadirkan negara sebagai pelindung seluruh warga negara Indonesia; membentuk pemerintah yang bersih, efektif, dan terpercaya; membangun daerah-daerah yang selama ini di-anaktirikan oleh pusat; memperkuat sistem penegakan hukum yang adil dan bebas korupsi; meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan titik berat kepada pendidikan budi pekerti dan semangat bela negara; meningkatkan produktifitas dan daya saing warga negara untuk go international; menggerakkan sektor ekonomi domestik yang strategis untuk menopang kemandirian bangsa; dan memperteguh kebhinekaan dan restorasi sosial melalui jalan dialog antar warga.

Selain revolusi rempah dan perombakan mental pasca-penjajahan, Yudhie juga mempersoalkan banyak sekali mitos-mitos dalam beragama, khususnya beragama dalam Islam. Dalam buku “Memaafkan Islam”, Yudhie mengkritik kejumudan (kebekuan; kemandekan) umat Islam saat ini. Yudhie menilai bahwa Islamisme (Islam sebagai sebuah doktrin politik) sedang mengalami kekalahan dalam menghadapi globalisme dan demokrasi karena “gagap dan limbung” serta “miskin strategi dan taktik saat berkontestasi”. Untuk itu, gerakan Islam politik perlu dimaafkan untuk kemudian diberi kesempatan untuk berbenah diri.

Bagaimana caranya berbenah diri? Yudhie menganjurkan dilakukannya dekonstruksi cara berislam, yaitu meninggalkan diskursus Islamisasi dan berupaya menghadirkan nilai-nilai universal Islam di ruang-ruang publik. Dengan begini, maka gerakan politik Islam tidak terjebak pada agenda tersendiri, tetapi lebih kepada mengusung ide-ide universal seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yudhie mengajak kita untuk menyadari bahwa permasalahan bangsa ini sesungguhnya melampaui agama dan ideologi apapun. Jika ini dilakukan maka niscaya, keadilan dan kemakmuran di Nusantara akan berdentum hebat dan menggema ke seluruh dunia.

Yudhie Haryono adalah seorang pemikir Islam muda yang revolusioner dan juga seorang penulis yang produktif. Untuk itu, mengenal pemikiran-pemikirannya yang jenius dan menyempal tentu saja tidak cukup melalui tulisan abal-abal ini. Silakan tuan-tuan merujuk kepada karya-karya beliau seperti: Bahasa Politik Al Qur’an (Gugus Press, 2002), Post Islam Liberal (Gugus Press, 2002), Melawan dengan Teks (ResistBook, 2004), Melampaui Islam (Kalam Nusantara, 2006), Republik yang Menunggu (Kalam Nusantara, 2009), Agama adalah Penyakit (Grafika Media Sidoarjo, 2011), dll.

Tidak hanya melalui buku, Yudhie bersama Nusantara Centre cukup jeli untuk “menjual” gagasan-gagasannya melalui kanal YouTube, Instagram, dan Facebook. Di kanal YouTube misalnya, maka kita akan mudah menjejaki ide-ide jeniusnya dalam membahas hal-hal yang dinilai mampu membangkitkan Nusantara seperti pemberdayaan sektor maritim, menelusuri kembali jalur rempah Nusantara, revolusi sastra, kedaulatan mata uang, kajian bahasa sebagai identitas, jalan Ekonomi Pancasila, transformasi Shadow Economy, dan ide tentang SWF (Sovereign Wealth Fund). Menjejaki pemikiran-pemikiran Yudhie akan membawa kita kepada sebuah jalan perubahan. Sebuah jalan menuju Nusantara yang adil, makmur, dan martabatif.

“Tumbangnya sebuah rezim jahat tak serta merta menuntasi kejahatannya. Sebab kejahatan terbesar dari sebuah tiran, tidaklah terletak pada seberapa banyak kejahatan yang ia lakukan dan kekayaan yang ia rampok. Melainkan pada cara-cara jahat dan kebiasaan korup yang ia wariskan” – Yudhie Haryono.

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here