Seandainya Bukan Kurma. Foto Pixabay/Pictavio
Seandainya Bukan Kurma. Foto Pixabay/Pictavio

Oleh Nor Lutfi Fais Mahasiswa Magister (S2) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo

21 hari umat Islam menunaikan ibadah puasa. 21 hari pula mereka telah berbuka puasa. Dan selama itu, kurma masih menjadi pilihan favorit untuk berbuka.

Ada alasan yang cukup kuat bagi kurma menjadi pilihan. Katanya, berbuka dengan kurma adalah kesunahan. Kanjeng Nabi sendiri yang mempraktikkan. Bahkan konon, ‘ajwa adalah jenis yang beliau idamkan.

Tendensi kesunahan ifthar dengan kurma sejatinya tidak sesederhana yang dikatakan. Sunah dapat berarti banyak hal. Sunah (sunnah) dapat berarti sebuah jalan. Ia juga menjadi perimbangan dari kewajiban. Atau ia juga menjadi teman istilah hadis dan atsar.

Memahami kesunahan kurma sebagai pilihan berbuka, ada satu metode dalam kajian sunah yang dikenal dengan tekstual dan kontekstual. Metode tekstual lebih mengedepankan teks sebagai acuan pemahaman. Sedangkan kontekstual akan mengaitkan pemahaman teks dengan situasi dan kondisi yang tengah terjadi.

Di antara riwayat yang dijadikan acuan dalam kesunahan kurma adalah riwayat At-Turmudzi. Terlepas dari keragaman redaksi yang dimiliki, salah satunya berbunyi,“Barangsiapa mendapati kurma maka berbukalah dengannya. Jika tidak, berbukalah dengan air. Karena sesungguhnya air itu suci”.

Apabila menganut mazhab tekstual, riwayat ini akan dipahami secara langsung sebagai anjuran (kesunahan) untuk berbuka dengan kurma, secara spesifik. Karena secara redaksional pula Nabi menyebut kata kurma. Namun jika mengikuti mazhab kontekstual, pemahaman yang didapat harus melewati sekian proses yang cukup panjang.

Kita sendiri sebenarnya telah mendengar salah satu pemahaman kontekstual dari riwayat Turmudzi di atas. “Berbukalah dengan yang manis”, begitu kurang lebih. Perintah berbuka dengan manis ini bukan sunah (hadis) dari Nabi. Meski memang ada satu riwayat yang menyinggung kata manis, tetapi bukan dalam konteks berbuka.

Al-Turmudzi menyebutkan bahwa “Sesungguhnya minuman yang paling disukai Nabi adalah yang manis yang dingin”. Riwayat ini masih sangat umum karena hanya menjelaskan hal-hal yang disukai Nabi.Meskipun dalam proses pemahamannya, boleh jadi perintah untuk berbuka dengan yang manis juga terilhami dari riwayat minuman manis lagi dingin ini.

Padanan lain dalam memahami sunah –antara mazhab tekstual dan kontekstual- adalah riwayat yang menceritakan perintah salat di Bani Quraizhah. “Jangan sekali-kali menunaikan salat kecuali di Bani Quraizhah”, begitu salah satu riwayatnya menyebutkan.

Mendengar dhawuh Nabi ini, para sahabat lantas terbagi menjadi dua. Pertama memahami letterlijk perintah Nabi sehingga tidak salat kecuali di Bani Quraizhah meski telah keluar waktunya. Kedua, memahami dhawuh tersebut sebagai perintah untuk bersegera menuju Bani Quraizhah. Sehingga tatkala waktu tidak mencukupi, mereka akan menunaikan salat di tengah perjalanan.

Yang menarik adalah, ketika peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi, Nabi tidak menyalahkan satu pun dari dua kelompok tersebut. Hal ini berarti bahwa, pemahaman secara tekstual maupun kontekstual, semuanya memiliki nilai keabsahan yang sama.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika dua mazhab pemahaman ini diterapkan dalam hadis berbuka dengan kurma?

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here