Seandainya bukan kurma. Foto Nor Lutfi Fais
Seandainya bukan kurma. Foto Nor Lutfi Fais

Oleh Nor Lutfi Fais Mahasiswa Magister (S2) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo

Apa jadinya jika kurma bukanlah kurma, melainkan kolak, bubur atau penganan tradisional nusantara lainnya? Begitu kira-kira bayangan yang muncul dalam benak penulis tatkala menerapkan mazhab tekstual dan kontekstual dalam masalah berbuka dengan kurma.

Pada part sebelumnya, Seandainya Bukan Kurma (Bagian I) penulis telah memberikan teori yang menjadi landasan konseptual masalah ini. Penulis juga telah memberikan analogi peristiwa lain yang menerapkan teori serupa. Lantas, bagaimana dengan kurma?

Mazhab tekstual penulis anggap selesai karena hanya berpijak pada teks. Teks menyebutkan kurma, maka berbuka menjadi sunah dengan memakan kurma.

Mazhab kontekstual, sebagaimana telah disebutkan, mempertimbangkan situasi, kondisi, dan aspek lain yang dapat mempengaruhi pemahaman. Aspek lain misalnya dengan melihat spirit dari lahirnya teks tersebut, seperti kandungan manis yang telah juga penulis sebut sebelumnya. Apa saja kemudian aspek pertimbangan tersebut?

Situasi dan kondisi misalnya.Arab pada masa Nabi dulu merupakan wilayah dengan penghasil kurma yang cukup besar. Lebih-lebih pasca kepindahan Nabi menuju Madinah, kota pertanian yang subur. Atau Khaibar yang dikenal menjadi sumber income terbesar dari komoditi kurmanya.

Hal semacam ini yang boleh jadi memunculkan pemahaman bahwa maksud dari perintah Nabi untuk berbuka dengan kurma adalah berbukalah dengan sesuatu yang mudah ditemukan. Hal yang sama yang menjadi alasan berbuka dengan sesuatu yang memiliki kandungan manis di dalamnya.

Dalam bahasa yang sederhana, kita sering mendengar orang-orang mengatakan, “Wajar saja jika Nabi berbuka dengan kurma, karena di sana banyak dijumpai kurma”, yang meski ada benarnya tapi juga mungkin banyak kelirunya.

Kelirunya, sekaligus menjadi kritik terhadap mazhab kontekstual, jika spirit yang mendasari kesunahan berbuka dengan kurma adalah kandungan manis yang dimiliki, taruhlah demikian, maka bukankah ada makanan atau minuman lain yang manis selain kurma? Madu misalnya.

Dalam part sebelumnya, penulis telah mengutip riwayat At-Turmudzi yang menyebutkan minuman kesukaan Nabi, yakni sesuatu yang manis lagi dingin. Dalam cerita-cerita klasik para sahabat, minuman itu sering kali digambarkan dengan air yang dingin dicampur dengan madu, seperti cerita ‘Umar.

Hal ini berarti, ada sesuatu yang lain selain kurma yang mestinya mampu digunakan sebagai media pembatalan puasa jika mengatasnamakan spirit manis. Namun nyatanya, Nabi tetap memilih kurma bahkan menyebutnya secara eksplisit. Artinya, ada sesuatu dalam kandungan kurma yang tidak dimiliki makanan atau minuman lain.

Dalam makalah yang diberikan Al-Ghazaliy, pilihan yang diberikan Nabi semacam ini selalu memiliki alasan tersendiri. Yang dalam bahasa yang sering dikutip Gus Baha’ disebut sebagai logika nubuwwah(nubuat). Sehingga mengikuti sunah secara lugu -apa adanya-justru memiliki faedah tersendiri.

Terlepas dari itu semua, penulis sering kali berimajinasi bahwa seandainya mendoan adalah kurma, niscaya ia akan berbangga dengan memenuhi etalase toko atau supermarket. Ia akan menghipnotis setiap pembelinya dengan fantasi religius yang dimiliki karena back up sabda Nabi. Komodifikasi mendoan ramai dilakukan dengan menyematkan aneka jargon syar‘i.Ekonomi rakyat terdongkrak karena mendoan go international. Minyak goreng tak akan diekspor karena kuota permintaan dalam negeri saja belum terpenuhi, bahkan sebaliknya.Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here