Nurcholish Madjid dan ijtihad. Foto Wikipedia
Nurcholish Madjid dan ijtihad. Foto Wikipedia

Oleh Yudhie Haryono

“Tuhan tahu aqidahmu, manusia perlu akhlaqmu,” begitulah fatwa Cak Nur yang tak mungkin kulupa saat pertama ikut dialog dengannya pada tahun awal 1993 di Jakarta.

Ada lima hipotesa Cak Nur soal Islam dan Indonesia. Pertama, islam dan indonesia punya kemiripan: kesempurnaan yang jadi beban. Kedua, islam dan indonesia itu banyak tetapi buih. Ketiga, islam dan indonesia punya potensi luwarbiyasa tetapi muter-muter pada hal-hal sepele. Keempat, islam dan indonesia masuk dan memeluk pada takdir keberagaman tapi coba diseragamkan sehingga keributan di dalam lebih mengerikan dari ancaman dari luar. Kelima, aku lupa. Maaf ya, please.

Kawan. Hanya tiga pemikir keagamaan (Indonesia) yang kukagumi dan kubaca semua karyanya: Nurcholish Madjid (tempat di mana aku pernah melayaninya selama 3 tahun), Hamka (orang yang kutulis biografinya) dan Quraish Shihab.

Ini ramadan yang bagus untuk tetirah memungut pikiran-pikirannya. Kuingat, guruku lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun. Aku menulis ini untuk menghormati jihad dan kematiannya.

Beberapa karya penting yang bisa kita baca adalah: The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view dalam Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978); “IIslam In Indonesia: Challenges and Opportunities” dalam Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982); “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982); Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982); Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987); Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992); Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993); Pintu-pintu menuju Tuhan, (Jakarta, Paramdina, 1994); Islam, Agama Kemanusiaan, (Jakarta, Paramadina, 1995); Islam, Agama Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1995).

“In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences” dalam Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian Islamic Thoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996); Dialog Keterbukaan, (Jakarta, Paradima, 1997); Cendekiawan dan Religious Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 1999); Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah Jumat di Paramadina) (Jakarta:Paramadina, 1999).

Dengan begitu banyak karya yang didedikasikan buat ummat, maka selama hidup, ia menjadi pemikir Islam tercerdas, cendekiawan independen dan budayawan Indonesia terbesar. Ialah guru bangsa sesungguhnya. Bapak pluralisme di mana Gus Dur nanti belajar banyak darinya.

Pembaruan dalam pemikiran Indonesia hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran nusantara dalam hubungannya dengan konteks kolonialisme dan neoliberalisme yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks penjajahan, tidak pernah ada pembaruan nusantara. Teks-teks sejarah di sekolah-sekolah akan tetap seperti itu adanya (informatif tapi mati).

Sedangkan alam raya Indonesia plus peristiwa-peristiwa globalisasi, agama, ilmu (ipoleksosbudhankam) dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final. Dus, hidup itu teka-teki. Maka, pecahkanlah. Carilah jawaban-jawabannya. Gunakan nalar dan ketelitian kita. Dengan segala daya upaya. Bukan taklid buta. Buka ikut membabi buta.

Di antara dentang revolusi/yang mulai tak ditanggapi/tapi tak bisa ditarik kembali/kutemukan kau dan kalian/yang hidup segan/mati tak sempat/takdir kita umpat/Aku iba kau terluka/aku simpati kau berlari/aku empati kau terkapar mati/karena itu/cintaku kini adalah doa/untuk kau/kamu dan kalian yang menyiksa diri/berharap jaya hanya dengan berdoa/defisit usaha.

Dari argumentasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tanpa pembaruan pemahaman radikal revolusioner, sejarah nusantara pada era tertentu akan membeku dan pasti kehilangan relevansinya. Penyegaran (trias revolusi) menjadi perlu untuk mencari relevansi pemahaman sejarah beku dan baku dengan tantangan zaman dan gesekan antar berbagai tradisi keterjajahan dalam era jahiliyah seperti kini.

Kusadar. Orang sudah tua dan tak berkuasa sepertiku tidak mampu membangun masa depan Indonesia untuk kaum muda. Yang kini mampu aku lakukan hanya berusaha membangun kaum muda untuk masa depan Indonesia.

Kecuali jika takdir mengutukku memimpin republik nusantara dengan Pancasila. Bukan hanya masa depan Indonesia, Kaum Muda dan Kita, tapi juga dunia. Kalian saksinya! Dari cara berpikir Cak Nur kita bersegera berbagi pikiran dan kecemasan.

Singkatnya, Cak Nur berhasil setidaknya memberi landasan perlawanan Islam atas feodalisme, fasisme dan kroniisme warisan penjajah internasional dan lokal. Guru, kulanjutkan karyamu. Kudoakan ruhmu. Kuteruskan cita-citamu. Aamiin.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here