Bagaimana perasaanmu jadi rempeyek
Bagaimana perasaanmu jika jadi rempeyek. Foto Instagram @ipink_nicole

Oleh Nurul Ichwan – Mahasiswa Magister (S2) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo

Di momen lebaran pernahkah kita membayangkan perasaan rempeyek? Ya. Rempeyek! Dari rempeyek kita belajar memaafkan. Lha kok?

Mari sejenak mengheningkan cipta, lalu meresapi seandainya kita adalah rempeyek di saat lebaran.

Mengheningkan cipta selesai!

Apa itu rempeyek? Definisi tentangnya tidaklah pasti. Para ahli gorengan belum mencapai kata sepakat tentangnya. Apakah ia masuk dalam jenis gorengan, kerupuk atau keripik? Apakah ia menggunakan taburan kacang tanah, kacang ijo atau ikan teri? Jika pakai ikan teri apakah tidak sebaiknya ia dimasukan dalam keluarga gimbal yang umumnya pakai udang? Kategorisasi dan definisi tentang rempeyek sungguh membutuhkan kajian tersendiri dan mendalam.

Meski demikian, terlepas dari cara pandang orang terhadapnya, rempeyek tidak pernah meminta pengakuan. Ia selalu sadar diri dan tahu posisi di hadapan nastar dan Kong Guan. Ia eksis dengan kesederhanaannya, tanpa membutuhkan bentuk dan kemasan menarik untuk memikat orang. Karena rempeyek lebih mementingkan aspek guna dari pada penampilan.

Hal tersebut dapat dilihat ketika orang mau makan opor lebaran, selain krupuk, rempeyeklah teman yang menyertainya, bukan nastar apalagi Kong Guan. Kecuali kalau ada yang suka makan Kong Guan dengan kuah opor. Nah, selain dapat menemani saat makan, rempeyek juga tetap dapat difungsikan sebagai camilan.

Multiguna rempeyek yang demikian itu menjadikannya berprestasi dalam menempati segala posisi. Baik itu di meja makan yang ada di ruang belakang maupun di meja tamu yg ada di ruang depan. Rempeyek akan selalu memahami posisimu tanpa menuntut balik untuk dipahami!

Perkembangan peradaban snack telah mengakibatkan kompetisi yang sengit. Dari tahun ke tahun, lebaran ke lebaran, raksasa induatri snack selalu menyuguhkan produk baru dan varian baru untuk memikat pasar. Lalu apa kabar rempeyek? Ia adalah snack dengan kemerdekaannya, tidak terpengaruh dengan kompetisi pasar. Hanya dengan bungkus plastik saja ia sudah memikat. Kesahajaan rasa dan kesederhanaan bentuknya sungguh cukup untuk orang mengenali kapasitasnya. Maka rempeyek adalah everlasting snack, eksis likulli zaman wa makan.

Selain tidak menuntut dipahami dan everlasting snack, rempeyek juga memiliki mentalitas yang bakoh atau tidak mudah ambyar. Meski wujudnya crispy mudah remuk, tapi mentalnya baja. Lha kok?

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia semakin canggih dalam melakukan manipulasi. Tidak jarang manusia menjadikan rempeyek sebagai pengisi kekosongan toples Kong Gu*n. Tapi setelah ketahuan isinya, malah rempeyek yang digunjing atau disalahkan. Seakan rempeyeklah biang kekecewaan dari ekspektasi manipulatif manusia. Seakan rempeyek adalah snack kasta sudra yang tidak layak menempati toples snack kasta satria.

Padahal, nyatanya rempeyek adalah korban dari ketidakmampuan manusia memperoleh Kong Guan. Sehingga mengisinya dengan rempeyek adalah cara instan, alih-alih sayang membuang toples Kong Guan yang dianggap mahal.

Tapi rempeyek adalah snack yang bakoh. Ia tetap ikhlas menerima kenyataan. Ia pasti memaafkan tingkah manipulatif manusia yang demikian itu. Karena ia adalah snack dengan penuh kearifan lokal. Kearifan kita adalah saling memaafkan, sehingga muncul tradisi halal bi halal dalam kebudayaan kita sebagai momentum untuk saling memaafkan antar sesama anak adam.

Maka mari saling memaafkan. Termasuk kepada orang yang menjadikanmu hanya sebagai pengisi kekosongan sesaat. Agar dirimu tetap bakoh atau tidak ambyar. Karena kita hanyalah serpihan dari rempeyek remuk.

“Lalu bagaimana perasaanmu jika jadi rempeyek, dek?”

“Bangga, mas. Meski remuk rasanya”

“Allahu Akbar!”

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here