"Kebangsaan Kita." Juga ditulis oleh orang yang menarik, "Pontjo Sutowo."

Oleh Yudhie Haryono

Buku ini berjudul sangat menarik, “Kebangsaan Kita.” Juga ditulis oleh orang yang menarik, “Pontjo Sutowo.” Mengapa menarik? Tentu karena tema kebangsaan kita yang selalu aktual tetapi tidak menjadi arus besar penulisan. Di luar Bung Karno dan Guru Pramoedya, generasi muda kita tak terlalu tertarik, bahkan tak peduli dengan nasib kebangsaan kita. Sedangkan penulisnya menarik karena “anak orang kaya” yang pada umumnya di sekitar kita lebih fokus mengakumulasi kapital, ini orang justru mengakumulasi gagasan dan pikiran.

Diterbitkan oleh lembaga Aliansi Kebangsaan tahun 2013 dan disunting oleh politisi cum ilmuwan Ahmad Zacky Siradj, buku ini makin punya bobot yang kuat. Tertarik isinya? Mari kita lihat beberapa hipotesanya.

Kata kebangsaan di buku ini sendiri bermakna kesadaran diri sebagai suatu negara untuk terus menunaikan janji proklamasi dan menjadikan Pancasila sebagai titik temu untuk menuju pada cita-cita bersama: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, makmur dan sentausa.

Kebangsaan itu penting karena ia “satu-satunya” paham dan wawasan yang mampu menyatukan demikian banyak etnik di Indonesia (h.3). Negara Indonesia yang majemuk hanya bisa diplaning dengan baik jika faham kebangsaan yang digunakan dan dikembangkan. Ia pemersatu, ia daya kohesif, ia vitamin yang terus berbhineka untuk tunggal ika.

Ada tujuh nilai kebangsaan yang terkandung dalam UUD 1945 yaitu nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai produktivitas, nilai keseimbangan, nilai demokrasi, nilai kesamaan derajat, dan nilai ketaatan hukum (h. 45). Masing-masing dari ketujuh nilai kebangsaan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan dengan cara yang positif dan tujuan positif.

Tentu, setiap kebangsaan menghasilkan wawasan. Dan, wawasan kebangsaan kita adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kesatuan atau integrasi nasional tersebut bersifat kultural, mengandung satu kesatuan ideologi, politik, sosial budaya, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan. Semua terangkum dalam satu kesatuan integrasi bangsa. Baik lahir maupun batin, semua bersatu dalam satu rangkaian emas kesatuan dan persatuan bangsa. Itulah yang seharusnya dan semestinya ada dan hadir di antara kita.

Tentu, cara pandang ini “naik turun.” Karena munculnya ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan: baik dalam tataran teoritis maupun praksis. Maka, menarasikannya, mengkampanyekannya, membuatnya jadi kurikulum menjadi sangat penting. Di semua jenjang pendidikan sekolah, baik formal, informal maupun nonformal.

Karena naik turun kondisi kebangsaan kita, penulis merekomendasikan tiga langkah agar kebangsaan Indonesia tetap kuat dan solid di zaman global. Pertama, merealisasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD1945 dalam kehidupan kenegaraan kita. Kedua, mengoreksi semua kebijakan publik yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD1945, baik yang pragmatis maupun yang tidak pro rakyat. Ketiga, menghidupkan kembali GBHN (garis-garis besar haluan negara) yang hilang di zaman reformasi ini (h.100).

Buku ini berisi empat tema pokok: 1)Masalah kebangsaan yang dibagi dalam empat tema. 2)Menyegarkan komitmen kebangsaan yang dibagi dalam sembilan tema. 3)Rancangbangun karakter bangsa yang dibagi dalam tujuh tema. 4)Format ideal kepemimpinan bangsa dan peran pemuda yang dibagi dalam lima tema.

Jika di masa lalu, wawasan kebangsaan lahir dan tumbuh akibat kolonialisme purba yang mencapai satu tonggak sejarah, bersatu padu memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka wawasan ini harusnya hadir kembali untuk membebaskan bangsa dan negara ini dari penjajahan baru oleh oligarki. Tentu lebih menantang, tapi itu keniscayaan. Mampukah kita merealisasikannya? Kitalah yang harus memulainya. Kitalah yang (kalau perlu) memimpinnya.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here