Merindui Kematian Jiwa
Merindui Kematian Jiwa. Foto Pixabay/Merlinlightpainting

Oleh Yudhie Haryono

Bergulung-gulung. Engkau bukan mendung. Sebab, engkau pernah menjadi detak-detak dalam jiwa ragaku. Mengiringi setiap sahurku. Persis di antara lauk pauk tempe goreng dan sayur bayam yang sedikit manis.

Dalam hidupku yang perih, engkau pernah menyelamatkan seluruh hidupku. Melalui salawat dan es kelapa muda di haribaan umur tua. Sambil lalu, engkau pernah menghujaniku dengan butiran air matamu. Mengatakan bahwa buka sore itu tak ada apa-apa kecuali air mata. Hanya pedih masa lalu yang manis kita ingat. Sebab yang baik dan ceria pasti kita lupa.

Kini. Idul fitri kembali. Saat engkau tertawa tanpa ada yang lucu dalam pelukku. Rupa-rupanya, perubahan nasib ini meyakinkanku bahwa tak ada yang abadi. Tak ada yang harus benar-benar kita tangisi. Meskipun itu soal engkau putuskan tali kehidupan yang tidak tak terpecahkan.

Mari terus beranjak. Untuk melepaskan hidup. Bunuh diri. Putus asa atas umur yang dipanjang-panjangin Tuhan. Walaupun engkau pernah menjadi terang dalam gelapku saat tersesat di jerat fundamentalisme dan fasisme negara swasta.

Di negara itu, engkau juga pernah menyentuh rasa bahagiaku. Saat kedatangan itu mengajarkanku bahwa takdir buruk tak ada yang abadi. Tetapi takdir baikpun tak kunjung kembali. Aku terkapar di kenihilan kitab suci, agama suci, orang-orang suci dan hari-hari suci. Sungguh itu takrif dari keabadian nurani yang kaku bin lugu.

“There is no greater glory than to die for love.” —Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera, 1993.

Setrilyun kehampaan. Semilyar kesunyian. Sejuta kenestapaan. Seribu keentahan. Seratus kesialan. Sepuluh kehidupan. Satu kematian. Inilah arsitektur atom hidupku. Inilah sejarah terkiniku. Atom yang belum sempat meledak. Sejarah yang tidak sempat memuncak. Bintang yang tak sempat terang.

Hidupku tak pernah seperti matahari. Sejarahku tak bersinar sepanjang hari. Hidupku tak sama dengan angin yang terus mengembara melintasi musim dan masa. Sejarahku sederhana saja. Kesepian dan kesunyian sepanjang musim bermekaran bunga. Hidup yang singkat, indah dan pasti dilupa seluruh makhluk hidup di sekitarku.

Tak ada tanaman dan pohon bunga di dunia ini yang abadi. Baik bunga deposito ataupun edellweis dari dataran dan puncak gunung tinggi. Semua berakhir, berganti dan terus berganti. Tak ada kemarau sepanjang tahun. Tak ada hujan seluruh waktu. Tapi hidupku kini sempurna dalam tangis keabadian.

Kini, apa karena menginginkan pelangi, aku harus rela untuk bertahan dalam hujan? Hanya tuhan hantu dan hutan yang tahu. Sebab, untuk yang keseratus kali, kau pilih membisu. Kau memilih hidup dan mati bukan dengan mendengar suara hati.

Mutanku tiga: aksara, bintang dan syailendra. Maka kini kutanya kembali, “maukah kau rubah hidupku jadi perayaan syorga?” Sebab hanya engkau dan engkau yang bisa dan kumimpikan jadi belahan jiwa. Bidadariku. Permaisuriku.

Wahai perempuan yang menutup mukanya saat tertawa. Apa kabarmu? Tolong beri kabar jika sudah mati. Biar kukirim alfatihah dan bunga semboja.

Wahai perempuan yang menyembah batu dan kertas. Akulah penghuni langit yang dikirimkan Tuhan buatmu. Apakah engkau tak tahu? Perhatikan apa yang keluar dari mulutku. Penuh pengetahuan dan ilmu. Penuh kasih dan rindu.

Wahai perempuan yang mengajar dengan sigap dan lucu. Ayok kita revolusi membangun negeri. Kirim rekeningmu jika senjata dan amunisi habis. Biar para begundal kolonial tahu. Kita bukan hanya cerdas dan wagu. Tapi juga jenius meringkas waktu.

Rasanya kok id kini layak berucap, “selamat tinggal kejujuran. Selamat datang keculasan. Terang di istana. Gelap di harga-harga. Selamat jalan kebaikan. Selamat datang keburukan. Gelap di bumi. Cerah di langit.” Semoga tidak. Kalaulah iya, mari maafkan semua.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here