Oleh M. Yudhie Haryono 

Kurasakan, aku takkan menjadi gemerlap bintang. Tak menjadi mentari. Juga bulan. Aku hanya kuda tunggangan. Bukan kuda bintang; kuda terbang dan kuda kesayangan yang selalu menyinarimu sambil menghapus rasa rindumu, yang pilu pada masa lalu.

Masa lalu kita sebagai bangsa memang pahit. Lebih pahit dari empedu dan bratawali. Itu semua karena penjajahan Belanda dan negeri rakus lainnya. Namun kejahatan terbesar Belanda terhadap Indonesia adalah upaya pembodohan terhadap pribumi; bangsa asli yang ratusan tahun menjadi penghuninya.

Mereka melakukan pembodohan dalam sejarah, pendidikan dan mental. Itulah mengapa, penjajahan sejati dari mereka adalah bukan penjarahan kekayaan alam, namun penghancuran mental. Akibatnya, kita mewarisi “mental kolonial.”

Aku menjumpaimu dalam mental kolonial yang akut. Menumpuk keinginan, lupa kebutuhan. Dalam seminggu, warasmu cuma sehari. Lalu, bagaimana negeri ini bisa kita perbaiki?

Setelah ia mati, Aku kini hanya sebutir takdir. Meringkuk kedinginan. Menangis terus seperti seribu tahun lalu. Mengitari bumi tanpa bensin. Mogok di tiap KM garis katulistiwa. Tanpa tanda. Tanpa rencana.

Maka, mencintaimu seperti pungguk lugu. Cengeng dan dekil rupa. Selimutku tipis tersapu musim debu dan hujan. Tubuh rentaku terterjang maha duka. Rajut penghangatnya tercerai tanpa janji. Tanpa harapan.

Sebab semua mungkin tak akan pernah kembali. Kasih. Rinduku berkalang waktu. Masih mendekam dalam setiap detak jantung nafasku. Kini hanya sekedar sapa. Hanya sebatas tanya. Matipun tak kunjung tiba.

Tuhan memang maha jancuk. Maka, di setiap penat letih dan keterpurukan, kusebut dan kulafal namaNya. Aku berlari di tengah gurun gulita. Aku berjelajah keentahan. Mengais-ais oase kehangatan. Menggambar wajah cantik putri indonesia di angkasa.

Wajah tanpa nuzulul quran saat ramadan tetapi penuh surat kangen lagu dari Dewa-19.

Kutrima suratmu/Tlah kubaca dan aku mengerti/Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku/Di dalam hari-harimu/Bersama lagi.

Kau tanyakan padaku/Kapan aku akan kembali lagi/Katamu kau tak kuasa/Melawan gejolak didalam dada/Yang membara menahan rasa Pertemuan kita nanti/Saat bersama dirimu.

Semua kata rindumu/Semakin membuatku tak berdaya/Menahan rasa ingin jumpa/Percayalah padaku akupun rindu kamu/Ku akan pulang/Melepas semua kerinduan/Yang terpendam.

Kau tuliskan padaku/Kata cinta/Yang manis dalam suratmu/Kau katakan padaku/Saat ini/Kuingin hangat pelukmu/Dan belai lembut kasihmu/Takkan kulupa slamanya/Saat kau ada di sisiku.

Jangan katakan cinta/Menambah beban rasa/Sudah simpan saja sedihmu itu/Ku akan datang/Jangan buang muka/Peluk saja.

Kini. Menulis nama kekasih di hutan dan ngarai-ngarai adalah hobi baru. Memeluk kepedihan di lembah-lembah senyap adalah pekerjaan tambahan. Bintang di tirai angkasa pun takkan cukup untuk menghangatkanku.

Juga, ganja sekarung takkan sanggup waraskan nalarku. Kini. Aku mencari bulan, namun raib. Menjaring mentari, namun punah. Kiyamat. Pergi. Jauh. Tinggalkanku. Dalam kesunyian dan tangis sisa sejarah yang entah. Cinta apa lagi yang bisa kudustakan? Saat engkau menemukan kekasih di sana. Saat engkau berbahagia melihat indonesia dijajah dan dijarah. Oleh teman sendiri yang serakah. Oleh mereka yang bungah.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini