Oleh Yudhie Haryono
Terjerumus. Jatuh dan sekarat. Tak ada prestasi gemilang. Selain rasa marah dan bimbang. Atau paling banter merasa sempurna dan masuk sorga di akherat tapi nista di dunia. Inilah episode peradaban islam. Terutama di republik selokan. Dengan presiden berwajah miskin tetapi tak bekerja mengatasi kemiskinan. Dengan wapres ulama tapi tak bekerja demi tegaknya kecerdasan.
Berjuta muslim jadi bangsa budak dan budaknya bangsa-bangsa. Mau bukti apa lagi? Mau ngeyel soal apa? Umat pilihan Tuhan kok tidak memimpin. Dalam segala hal. Umat terbaik kok mengekor. Dalam segala cuaca.
Apa pangkalnya? Karena ummat telah menggunakan metoda iman dalam hidupnya (percaya tanpa bertanya; iman tanpa kritis). Mereka menyembah teks. Mereka meninggalkan akal. Mereka menaruh nalar di bawah bantal.
Mari kita cek. Dalam teks-teks arabis, ummat dikelompokkan dalam keyakinan (keimanan) beragama; bukan berdasarkan kecerdasan (kepemikiran). Lahirlah kelasnya: 1) Muslim: orang Islam yang beriman pada Tuhan dengan derajat terendah; 2) Mukmin: orang beriman yang menjalankan hukum Tuhan; 3) Muhsin: orang beriman yang progresif; 4) Mukhlis: orang beriman yang ikhlas; 5) Muttaqin: orang yang beriman dan bertakwa dengan derajat tertinggi.
Seluruh arsitekturnya berasal dari hati; bukan akal. Makanya, di zaman pertengahan, peradaban islam adalah peradaban hati. Perasa dan sensitif. Lugu dan berpuas diri. Mengejar bahagia yang fotamorgana. Menimbun hal-hal abstrak, menabukan hal-hal kongkrit.
Secara bahasa, “iman” berarti pembenaran hati, kepercayaan hati dan kemantapan hati. Tanpa pikiran. Tanpa kenalaran. Secara syari’at, “iman” berarti mempercayai Allah dan sifat-sifatnya disertai dengan menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya.
Ada banyak teks dalam Alquran yang menguatkan hal tersebut. Misalnya QS. Al-Baqarah: 3, 8-9&177; At-Taubah: 62&66; Fathir: 32; Ali-Imran: 173; Al-Qamar: 49-50; Al-A’raf: 172; An-Nisa: 136&175; Al-Hasyr: 24; Al-Anfal: 2; Al-Fath: 4; Al-Mudatsir: 31.
Lalu ayat-ayat itu ditafsirkan, misalnya oleh Ali bin Abi Talib, “iman adalah ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota.” Menurut Aisyah, “iman adalah mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati serta mengerjakan dengan tubuh.” Al-Ghazali menguraikannya menjadi, “pengakuan dengan lisan dan hati serta mengamalkannya dengan rukun-rukun.”
Tetapi, sesungguhnya peradaban iman itu bukan peradaban islam. Sebab islam mewariskan dua sekaligus yang tak terpisahkan. Akal dan teks; pikiran dan konteks; penguasaan masa lalu dan dominasi masa kini; kuasa kini dan stabilitas masa depan. Tanpa dua yang satu, ummat tak disebut ummat terbaik.
Kini, balikin akal. Tempatkan nalar. Letakkan kreatifitas dalam kehidupan. Tinggalkan tradisi hapalan dan lomba-lombanya yang menyesatkan bin muspro. Sebab tak ada sejarah masa depan yang dimenangkan oleh para penyembah kitab, pencium kertas dan penghapal kalimat. Maka, konteks kehidupan harus dikuasai. Masa depan harus dikreasi. Dan, akallah kunci. Nalarlah alatnya. Kecerdasan itu metodanya.
Tanpa itu, kalian menyembah barang mati (kertas): meninggalkan akal dan nalar sebagai senjata memenangkan perang kecerdasan. Jika itu tradisi kalian yang terus diproduksi, ummat makin melarat, jadi mutan neraka yang tak terhingga. Kerjanya salah paham dan takfiri. Ngurus tahlilan pun tak becus. Ribut ecek-ecek.
Ingat, hati tanpa pikiran bagaikan mesin tanpa bensin. Tak akan bisa menjelajah dan menaklukkan dunia. So, beyond teks.(*)