Oleh Iin Sholihin – Kabid Kaderisasi PAC GP Ansor Penguragan Cirebon
Keberagaman dalam masyarakat merupakan hal yang nyata dan niscaya adanya. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri kondisi tersebut masih menjadi problematika oleh sebagian orang. Gejala itu hadir dalam beberapa aspek, mulai dari agama, budaya dan ras.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai banyak keanekaragaman menjadi negara yang rawan timbulnya konflik-konflik primodial. Timbulnya konflik antar masyarakat itu terjadi jika perbedaan tidak disikapi dengan bijak dan dikelola dengan baik.
Konflik primodial masih kerapkali terjadi di beberapa daerah, misalnya pembakaran rumah ibadah, kekerasan terhadap penganut kepercayaan minoritas dan lain-lain. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas muslim terbanyak di dunia dan negara yang memiliki banyak keanekaragaman budaya.
Kekerasan dan pengrusakan yang terjadi sebab pemahaman beragama yang ekslusif. Suatu sikap yang cenderung menutup diri dari adanya keanekaragaman dalam masyarakat, termasuk dalam beragama. Agama akan terkesan jumud dan kaku. Cara pandang beragama yang demikian, akan membawa pemeluk agama merasa dirinya yang paling benar. Akibatnya, ia akan mudah menyalahkan dan menyesatkan kelompok yang tidak sepaham.
Dengan dalih agama, kelompok ini membabibuta menindas golongan yang dianggap “sesat” dan “menyimpang”. Dengan membawa pentungan, mereka merusak fasilitas pribadi maupun publik bak bangsa Barbar, tanpa etika. Teks-teks suci keagamaan dijadikan sebagai legitimasi dan pembenaran atas tindakan anarkisnya. Sungguh ironi, hal itu dilakukan orang-orang yang katanya beragama.
Sebagai umat Islam, merenungkan kembali terkait keberagaman dalam perspektif Islam merupakan suatu keharusan. Terlebih Islam adalah agama yang Rahmatan lil ‘alamin, agama yg menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Secara konsep dasarnya, Islam tidak terlepas dari dua aspek, aspek horizontal dan vertikal. Horizontal yang kaitannya dengan hubungan antar sesama manusia dan vertikal antara manusia dengan Tuhannya.
Hubungan horizontal ini lah yang menjadi acuan umat Islam secara sosial antar sesamanya. Pada ranah sosial yang membentuk masyarakat. Pada penerapannya, konsep tersebut tidak terlepas dari tujuan hukum Islam, yaitu menjaga kemashlahatan di dunia dan akhirat. Ketika berprilaku sebaliknya, maka sebagai umat Islam kita tidak mengamalkan ibadah sosial (horizontal) yang berkaitan dengan masyarakat dan kebudayaan.
Padahal di dalam Islam mempunyai dua aspek, aspek agama dan aspek budaya. Ada agama Islam dan ada juga kebudayaan Islam. Antara keduanya memiliki integrasi. Dan dalam memahami kebudayaan dalam Islam, tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip kemanusiaan. Kemanusiaan itu merupakan hakikat manusia.
Kehadiran internet telah mengubah segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan beragama. Masyarakat tak lagi menggali ilmu agama dari ulama, pendeta, maupun tokoh agama lainnya. Mereka dapat mengaksesnya melalui internet. Brenda Brasher mengungkapkan bahwa penggunaan internet oleh masyarakat dalam kehidupan beragama akan menjadi bentuk dominan, dibandingkan konten lainnya. (Give Me That Religion, 2001).
Pew Internet & American Life Project bersama Center for Research on Media, Religion, and Culture memaparkan hasil penelitian yang mereka sebut dengan istilah “faith online”. Sebanyak 64 persen responden mengatakan bahwa mereka menggunakan internet bertujuan mencari informasi keagamaan. Aktivitas keagamaan yang sering mereka lakukan di antaranya saling bertukar email berisi pesan-pesan keagamaan, bertukar kartu ucapan hari besar agama, dan membaca berita tentang isu-isu agama.
Fenomena semacam ini dikenal dengan istilah cyberreligion, dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketika terdapat hubungan signifikan antara agama dan internet. Keduanya saling berinteraksi, baik sebagai media untuk mencari ilmu agama maupun sebagai ruang mengekspresikan kehidupan beragama. Akibatnya akan terjadi banyak perubahan ekspresi dan pengalaman dalam kehidupan beragama. Substansi ajaran agama menjadi pertaruhan dalam cyberreligion.
Di satu sisi peran dan fungsi agama bisa saja memiliki jangkauan yang lebih luas, jika substansinya berhasil dipertahankan. Di sisi lain, agama hanya akan menjadi sebatas platform dan cangkang kosong tak berisi apabila substansinya semakin menghilang. Kondisi inilah yang saat ini terjadi di Indonesia, kelompok Islam garis keras yang memaknai Islam secara ekslusif mulai mengancam kedaulatan negeri Pancasila ini.
Konsep-konsep ajaran Islam membutuhkan aktualisasi agar ajaran-ajarannya dapat diterima dengan sempurna, maka diperlukan strategi dakwah sebagaimana yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW ketika ajaran Islam pertama kali disyiarkan kepada kaum Quraisy pada waktu itu. Dakwah beliau dimulai dari lingkungan keluarga secara bertahap telah membentuk pola pikir dan keyakinan
Mengingat dalam catatan sejarah di Indonesia, tidak jarang muncul ketegangan-ketegangan antara agama-agama yang ada. Maka dalam masyarakat yang plural diperlukan pemikiran dan sikap inklusif yang berpandangan bahwa diluar agama yang dianutnya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya
Dalam rangka aktualisasi dakwah Islam pada masa kini sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam selalu datang sebagai agama yang memberikan solusi terhadap permasalahan umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia melalui nilai dan ajaranya yang universal.