Kere itu Buatan bukan Takdir. Foto dokumen untuk Harian Semarang
Kere itu Buatan bukan Takdir. Foto dokumen untuk Harian Semarang

Kini, orang kere makin terisolir. Tak ada negara, tak ada pemerintah, tak ada rezim, tak ada jaring pengaman, tak ada warga sesama yang perduli.

Ya. Takdir kaum miskin memang mengerikan. Tak mudah dipecahkan. Pertama, karena mereka tak punya akses. Kedua, karena mereka terlalu banyak beban. Ketiga, karena pasar yang buas. Keempat, karena negaranya punya kisah kelam. Kelima, karena sikon yang tak bersahabat dan solutif. Tetapi, kelima soal ini dapat disimpulkan bahwa kemiskinan bukan takdir.

Tak percaya? Lihat presiden republik Indonesia yang sedang berkuasa. Kami tahu Presiden Joko Widodo dari kaum miskin, bahkan sudra. Dari nama, tampang dan gaya bicaranya jelas membuktikan itu. Maka, tak perlu kita perdebatkan. Ia orang miskin, titik.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa keputusan-keputusannya jarang yang memihak kaum miskin? Mengapa tindakan-tindakannya tak mencerminkan pembelaan pada kaum kere, kaumnya berasal? Sebaliknya, ia sering membela dan melindungi kaum kaya yang jahat dan serakah.

Banyak toko kecil tutup, banyak PHK, banyak pengemis, banyak gojek, banyak anak putus sekolah, banyak rakyat tercekik rentenir. Kok presiden diam saja. Seperti diamnya presiden atas kasus hukum Joko Candra yang menista hukum. Sepertia diamnya presiden atas lahirnya beberapa UU yang menghianati Pancasila dan cita-cita proklamasi.

Sebenarnya presiden itu budek, goblok, bingung atau memang aslinya dajjal? Kami makin tak paham. Ini pertanyaan lanjutan: kalau bukan sesama kaum miskin yang saling bantu, terus siapa? Kalau bukan presiden dan negara yang peduli kaum kere, lalu siapa? Nasib mereka kok apes nemen.

Wapresnya juga sama. Kini dia di mana dan ngapain saja? Sujud, ziarah apa guyon sama jin dan syaitan? Kenapa tidak merasakan kesulitan kaum nahdatul ulama yang kere dan paria? Kok belum terlihat manfaat dirinya dengan kursi kekuasaannya. Moga-moga tidak sedang digigit utang dan krisis uang kartal.

Membaca fenomena di atas, kita perlu baca buku Poor Economics: A Radical Rethinking of The Way to Fight Global Poverty, karya dua ekonom Massachussetts Institute of Technology (MIT), yakni Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo. Abhijit V.Banerjee adalah ekonom asal India yang menjadi Professor ekonomi di MIT. Sedangkan Esther Duflo adalah ekonom asal Prancis yang sekarang menjadi direktur Abdul Latif Jameel Povert Action Lab (J-PAL) dan mengajar juga di MIT.

Buku ini diterbitankan di New York oleh PublicAffairs, tahun 2011. Buku dengan ketebalan xi, 303 halaman dan bernomor ISBN 978-1-58648-798-0. Buku yang merekomendasikan bahwa kita semua bertanggungjawab untuk menghabisi kemiskinan agar punya moral sebagai makhluk yang berakal budi.

Tanpa akal budi, maka benar kata penulis, “bahwa pekerjaan rumah kita sesungguhnya adalah kemalasan untuk benar-benar mendengar dan memahami nalar dari orang miskin. Kita terlalu malas berpikir dan mendekonstruksi ulang apa-apa yang selama ini dianggap mapan dan benar sehingga kemiskinan disebut takdir, padahal buatan.”

Dengan situasi kekinian yang lucu-lucu, pada akhirnya kita berkewajiban melahirkan kembali pemimpin bervisi besar, negarawan berspirit republik, rakyat cerdas peduli yang menegakkan kepentingan bersama, kesejahteraan seluruh, keadilan umum dengan nilai-nilai universal Pancasila, berakhlak kejujuran, menegakkan hukum serta menjadi warganegara unggul.

Dengan tampilnya manusia seperti itu niscaya kemiskinan tak tumbuh. Niscaya kesentosaan tertradisi. Niscaya kita tak berkhianat pada para pahlawan pendiri republik.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here