Oleh M Yudhie Haryono
Tidak ada buku baru yang melebihi Alkitab dalam mencerahkan dan menyesatkan ummat manusia. Yang tercerahkan dan tersesat karenanya hampir mencapai jumlah yang tercerahkan dan tersesat karena buku-buku kuno lainnya.
Kawan. Ditinjau dari segi kebahasaan, Alquran berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang.” Kata Alquran adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca.
Ia dibaca oleh para arabis seakan-akan Tuhan dan Muhammad yang hadir, bersenda gurau dan menjadi penolong-petunjuk. Ia dibaca dan dianggap menyelesaikan problem pembacanya. Ia bahkan dibaca seakan-akan bisa mengobati problem bangsa. Replikasi tuhan, Muhammad, obat dan solusi adalah posisi alquran kini.
Padahal, Nuhammad sendiri sebagai pembawa dan pembuatnya tak pernah berniat sejauh itu. Sebab alquran hanya kompilasi dari obrolan-obrolan, konsensus-konsensus, cerita-cerita, mimpi-mimpi, visi-misi, perintah-larangan, model-model, modul-modul, gambaran-gambaran dan modus. Sejarah alquran adalah sejarah kejadian. Ia tak lahir dari ruang kosong. Karenanya ia cacat tempat, waktu dan agensi. Tak aplikatif di semua tempat, waktu dan generasi.
Dus, hanya pada si dungu, sebuah buku lebih mulia dari nalar. Hanya pada si miskin, sebuah buku lebih berharga dari harga dirinya. Hanya pada si palsu, sebuah buku lebih mahal dari revolusi teknologi dan pengetahuan. Hanya pada si jahil, ia dihapal dan dijadikan mantra pencari rizki.
Alkitab membentuk ketercerahan sekaligus ketersesatan centrifugal sekaligus centripetal sehingga menjadi kebenaran yang, riil sekaligus mistis mitologis.
Dus, hanya pada si cerdas, sebuah buku tetap buku: tak lebih hebat dari buku darmogandul atau novel karya si anu. Tetapi, siapa mau cerdas di zaman jahiliyah ini, zaman kalabendu saat uang jadi Tuhan dan mencipta babu.
Kekasih. Melihat matamu seperti melihat Alkitab, Jakarta dan Indonesia. Penuh ilmu, tipu-tipu dan buram. Muram dan sengsara bagi banyak manusia. Jika Jakarta menyengsarakan kaum miskin, kamu menyengsarakan saya.
Jika Indonesia membuat daerah-daerah paria dan timpang, kamu membuatku sakaw dan sinting. Apa coba yang tak tumbuh di matamu? Lengkap pasalnya: kemunafikan, manipulasi, penjilatan, korupsi, kolusi, nepotisme, fundamentalisme, terorisme, pemalsuan, kebusukan, kebodohan, ketakutan dan kehampaan.
Tak ada masa depan yang gemilang. Tak ada kegagahan. Tak ada idealisme. Tak ada prestasi. Tak ada apa-apa kecuali zaman negatif dan suram. Semua menyembah kursi, lawan jenis dan kapital. Anti ilmu, anti pengetahuan, anti moral dan anti estetika.
Yang mengherankan, “aku jatuh hati padamu.” Seperti jatuh cintanya aku pada Indonesia. Sedih, pedih dan sakaw aku dibuatnya.
Kasih. Revolusi butuh hati. Dan, hati butuh jiwa. Lalu, jiwa butuh kawan. Kulihat hari ini kita defisit hati, minus jiwa, kosong kawan.
Jika yang dikirimkan alam raya hanya duka, kita bisa apa? Jika yang ditakdirkan Tuhan hanya nestapa, kita mau bagaimana? Jika yang diketik penguasa semesta hanya lara, kita harus melakukan apa?
Kita hanya kumpulan kepapaan yang dikhianati kawan dan sahabat serta diterkam zaman edan yang tidak tak berakhir-akhir sudah. Tetapi, maha duka ini harus kita ikhlaskan agar Tuhan, hantu dan hutan puas dengan qada-qadirnya. Orgasme dengan dirinya. Aamitabha.
Bisu. Bahkan untuk membalas salamkupun engkau tak sudi. Tuli. Bahkan untuk mendengar gemuruh rindukupun engkau malu. Buta. Bahkan untuk melukis namakupun engkau lari. Betapa pilu kini nasibku karena tenggelam pelan-pelan di samudra raya tanpa teman dan tanpa tahu kapan nyawa dicabutnya.
Rinduku padamu seperti rinduku pada kematian: bertepuk sebelah tangan. Tak ada kisahku yang lebih tragis dari soal kerinduan ini. Tak ada. Sungguh tak ada yang melebihinya.
Bisu. Tuli. Buta. Tertolak. Dan, engkau tak pernah kembali. Ke mana? Ke moksa dan reinkarnasi. Atau ke kesuraman?
Ya. Ini. Zaman kaliyuga. Sehingga tak ada hal-hal hebat, menghentak dan berdentum keras mencipta peradaban raya.
Sudah tujuh tahun. Rumput-rumput di sekitar rumahku mati dan sekarat. Pohon-pohon layu. Air pam mengecil. Debu menebal di segala penjuru. Hujan yang biasanya turun di bulan September pun tak mau. Protes ia pada para pendosa yang giat korupsi di sekitar istana. Jika alam raya sudah marah, kenapa elite kita belum berubah? Nista betul hidupku ini.(*)